Rijaludda'wah Mengenal Sosok KH. Hasan Basri



BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang
KH. Hasan Basri adalah seorang mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ulama kelahiran Muara Teweh, kota kecamatan sekitar 600 km sebelah utara Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 20 Agustus 1920, itu adalah penggagas bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Saat, menjabat Ketua Umum MUI, pemerintah melalui menteri Keuangan mengeluarkan Pakto (Paket Oktober) 1988, yang mendorong berdirinya bank. Banyak umat Islam yang bertanya kepadanya mengenai bunga bank yang oleh sebagian kalangan dianggap haram.
Selaku ketua umum MUI, dia mendengar keluhan umat Islam tersebut. Ia merespon dengan menggelar seminar 'Bank Tanpa Bunga' di Hotel Safari Cisarua Agustus 1991 dihadiri para pakar ekonomi, pejabat Bank Indonesia, Menteri terkait, serta para ulama. Waktu itu ada tiga pendapat; ada yang menyebutkan bunga bank haram, bunga bank halal dan ada juga yang berpendapat bunga bank syubhat.
Lalu, seminar itu merekomendasikan agar KH Hasan Basri, selaku Ketua Umum MUI membawakan masalah itu ke Munas MUI yang diadakan akhir Agustus 1991. Munas MUI itu memutuskan agar MUI mengambil prakarsa mendirikan bank tanpa bunga. Untuk itu, dibentuk kelompok kerja yang diketuai oleh Sekjen MUI waktu itu HS Prodjokusumo. Dilakukan lobi melalui BJ Habibie sampai akhirnya
Presiden Soeharto
menyetujui didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Resminya, BMI lahir 1 November 1991. Pada 3 Nopember 1991, atas prakarsa
Presiden Soeharto
, dilakukan penghimpunan dana di Istana Bogor. Kemudian setelah semua perangkatnya dilengkapi, BMI beroperasi 1 Mei 1992.
Oleh karena itu, kami dari kelompok 8 ingin memaparkan lebih dalam lagi biografi tentang KH. Hasan Basri mulai beliau kecil sampai dewasa, riwayat pendidikan beliau dan lain-lain.


BAB II
PEMBAHASAN



A.    Biografi, Pemikiran, Gerakan Dakwah dan Karya KH. Hasan Basri

1.      Kelahiran, Masa Kecil dan Lingkungan Keluarga
Hasan basri (nama asli sebelum haji dan sebelum mendapat gelar kyai) lahir di Muara Teweh pada tanggal 20 agustus 1920. Muara Teweh pada waktu itu merupakan salah satu kota kecil di Kalimantan pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu Kalimantan belum dibagi menjadi empat propinsi seperti yang ada dewasa ini yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Sekarang Muara Teweh menjadi ibu kota Kabupaten Barito Utara, dan masuk dalam wilayah Kalimantan Tengah. Meskipun ia lahir di Muara Teweh, namun sebenarnya ia adalah dari suku Banjar yang berasal dari Banjarmasin. Kakek dan neneknya adalah orang Banjar yang merantau ke daerah tersebut dan kemudian menetap di sana. Ayah Hasan Basri bernama Muhammad Darun. Muhammad Darun mempunyai tiga orang putera. Hasan Basri adalah putera kedua dari tiga bersaudara, yaitu Thamrin, Hasan Basri, dan Husni Rasyid. Muhammad Darun adalah seorang petani biasa di Muara Teweh. Ia sebenarnya dari keluarga yang berasal dari Banjarmasin, tetapi telah hidup dan tinggal di Muara Teweh hampir dua generasi. Muhammad Darun ayah Hasan Basri ini meninggal dunia pada tahun 1923, ketika Hasan Basri masih kanak-kanak. Ketika ayahnya meninggal itu Hasan Basri baru berusia tiga tahun. Dengan demikian, Hasan Basri sejak masih kecil telah menjadi anak yatim.
Ibu Hasan Basri bernama Siti Fatmah. Ia adalah puteri Haji Abdullah, seorang peagawai Landraad (Pengadilan Negeri di masa kolonial Belanda) di Banjarmasin. Haji Abdullah meskipun sebagai pegawai Landraad milik pemerintah kolonial Belanda, namun ia adalah seorang muslim yang taat beragama. Siti Fatmah, ibunda Hasan Basri adalah juga menjadi seorang ibu yang taat beragama.
Hasan Basri pada berusia tiga tahun, stelah kematian ayahnya sudah tentu tidak dapat merasakan kasih sayang dari seorang ayahnya. Namun, ia beruntung mempunyai seorang kakek. Ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kakeknya yaitu Haji Abdullah, ayah dari ibunya. Haji Abdullah benar-benar memberikan perhatian serta kasih sayang yang sangat besar kepadanya. Di samping itu, ia juga bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan hidup Hasan Basri beserta ibu, kakak dan adiknya. Nafkah hidup Hasan Basri sekeluarga bersama ibu, kakak dan adiknya ditanggung oleh Haji Abdullah. Hal ini tidaklah menjadi beban berat bagi Haji Abdullah, karena kebetulah ia pada waktu itu seorang pegawai yang punya gaji cukup untuk menafkahi. Dan setelah pensiun, ia menjadi petani dan pedagang.
Haji Abdullah yang berperan penting sebagai kepala keluarga di masa kecil. Hasan Basri. Haji Abdullah punya andil yang besar dalam pembentukan kepribadian Hasan Basri. Di samping memberikan keteladanan, ia juga melakukan upaya nyata bagi kepentingan masa depan keluarganya, terlebih bagi cucunya yang satu in yakni Hasan Basri. Haji Abdullah memang dikenal sebagai seorang muslim yang taat, saleh, dan memiliki tanggung jawab yang penuh bagi anak dan cucu-cucunya. Ia memiliki pengetahuan agama yang lumayan serta punya pandangan yang luas dan jauh ke depan. Karena itu, tidaklah mengherankan jika ia menghendaki agar anak dan cucunya menjadi anak yang saleh, taat beragama bagi masyarakat.
Suatu hal yang sangat menguntungkan bagi Hasan Basri adalah ia mendapatkan perhatian yang besar dari kakeknya, Haji Abdullah. Bimbingan yang diberikan Haji Abdullah kepadanya sewaktu masih anak-anak yang hasilnya sangat besar manfaatnya di kemudian hari ialah latihan berpidato. Hasan Basri sering dilatih oleh kakeknya untuk berpidato sehabis shalat magrib. Ia disuruh berdiri di atas meja untuk menyampaikan kepada jama’ah (yakni keluarga yang hadir) mengenai kegiatan yang telah dilakukannya sepanjang hari dan menceritakan pelajaran-pelajaran yang diterimanya di sekolah pada hari itu secara kronologis. Dalam latihan ini kakeknya senantiasa membimbing bagaimana berbicara yang sistematis, mudah didengar dan mudah dimengerti. Dengan disuruh menceritakan pelajaran-pelajaran yang telah diteirmanya disekolah sama halnya dengan mendidik Hasan Basri untuk selalu mengingat atau menghafal pelajaran yang telah diterima. Hal ini membuat mentalnya untuk berani berani tampil serta trampil berbicara di hadapan orang banyak. Hasan Basri memang memiliki bakat berpidato, dengan bakat yang dimilikinya dan latihan serta bimbingan yang diberikan oleh kakeknya pada masa kecil itu membuatnya setelah ia dewasa menjadi seorang da’i yang mahir dan mampu dalam berdakwah berhadapan dengan berbagai tingkat dan lapisan masyarakat.

  1. Pendidikan dan Guru-Gurunya
Sebelum mulai sekolah, Hasan Basri seperti halnya anak-anak di kampung pada waktu dahulu, kalau sore menjelang magrib ramai-ramai pergi ke masjid, dan habis shalat magrib ramai-ramai membaca Al-Qur’an. Belajar membaca Al-Qur’an merupakan pendidikan yang paling awal diterima Hasan Basri.
Ketika Hasan Basri mencapai usia 8 tahun, pada tahun 1928 ia dimasukan oleh kakeknya ke sekolah yang pada waktu itu bernama Volkschool. Volkschool ialah Sekolah Rakyat yang merupakan tingkat dasar di masa kolonial Belanda. Lama belajar pada sekolah ini adalah 5 tahun. Dan waktu belajarnya di sekolah ini adalah pagi hari. Disamping itu juga dimasukan oleh kakeknya ke Madrasah Diniyah Awwaliyah Islmiyah yang waktu belajarnya sore hari. Madrasah Diniyah Awwaliyah Islamiyah ini adalah sekolah agama yang setingkat dengan Madrasah Ibtidaiyah zaman sekarang ini. Tujuan sekolah ini adalah untuk memberikan pelajaran agama, membaca Al-Qur’an, menulis dan membaca tulisan arab, dan mempratikkan pelajaran ibadah.
Dengan bersekolah di dua sekolah ini Hasan Basri menerima dua jenis pendidikan. Yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidilan umumu diterima di Volkschool dan pendidikan agama diterima di Madrasah Diniyah Awwaliyah Islamiyah .
Sekolah yang tersebut pertama membekali Hasan Basri dengan pengetahuan umum. Mengenai mata Pelajaran Umum yang diterima Hasan Basri di sekolah ini tidak terdapat keterangan secara rinci. Sedangkan sekolah yang tersebut kedua membekali Hasan Basri dengan pengetahuan Agama. Mata pelajaran yang diterimanya di sekolah ini adalah Ilmu Tauhid, Fiqh, Al-Qur’an dan Hadist.
Madrasah Diniyah Awwaliyah Islamiyah tempat Hasan Basri menerima pendidikan agama ini memang sederhana saja, tetapi cukup berpengaruh di Muara Teweh pada waktu itu. Yang membuat berpengaruh adalah karena sekolah ini dipimpin oleh seorang ustadz yang dikenal sebagai orang yang alim. Ustadz ini bernama Haji Abdullah, nama yang sama dengan nama kakek Hasan Basri. Ustadz Haji Abdullah, guru yang memimpin Madrasah Diniyah Awwaliyah Islamiyah tersebut, adalah seorang guru dan pendidik yang paling besar pengaruhnya pada diri pribadi Hasan Basri.
Hasan Basri menamatkan sekolahnya di Volksschool pada tahun 1933. Tetapi di Madrasah Diniyyah masih tetap dilanjutkannya sambil turut membantu mengajar di sekolah ini. Di sekolah tersebut ia menamaptkan sekolahnya pada thaun 1935. Dengan demikian, dua sekolah formal tingkat dasar telah di tamatkan nya. Pada waktu itu, di Muara Teweh hanya ada sekolah tingkat dasar itu saja. Sedangkan sekolah tingkat lanjutan belum ada disana.
Setelah tamat dari Madrasah Diniyyah di Muara Teweh, Hasan Basri dimasukkan oleh kakeknya ke madrasah Tsanawiyyah Muhammadiyah Banjarmasin. Sekolah ini sudah menggunakan metode baru dalam sistem belajarnya. Dalam hal buku pelajaran, tidak lagi memakai buku lama (kitab kuning). Metode tradisional dengan sistem menghafal sudah di tinggalkan. Buku-buku baru mulai dipelajari, seperti Tarikh al-tarbiyah, tarikh al-dirasat al-islamiyah dan Fiqh. Begitu pula buku-buku karangan Muhammad Abduh, Imam Al-Ghazali, Muhammad Ridha dan Imam Syafi’I juga dipelajari. Dengan demikian, berarti Hasan Basri mulai mengenal metode belajar yang baru dan juga mulai mengenal pemikiran tokoh-tokoh ulama tersebut.
Sewaktu bersekolah di MTs Banjarmasin ini, Hasan Basri mendapat latihan berpidato, yang disebut dengan Muhadharah. Jika sebelumnya ia mendapat latihan berpidato dari kakeknya di lingkungan keluarga, kini ia mendapat latihan lagi di sekolah. Jika sebelumnya yang hadir di hadapanya hanya anggota keluarga, kini yang hadir jauh lebih banyak yaitu para pelajar dilingkungan sekolahnya. Tentulah latihan berpidato yang didapatkan disekolah ini membuatnya betul-betul terlatih berpidato di tengah-tengah orang banyak. Hal ini menjadi modal baginya sehingga dikemudian hari ia mampu tampil sebagai da’I yang setiap ceramahnya selalu memuaskan pendengarnya. Ia berpenampilan dengan suara yang tenang, tidak berapi-rapi tetapi dengan ketenanganya ini dapat menyejukkan serta menentramkan jiwa jama’ah pendengarnya.
Sewaktu bersekolah di MTs Banjarmasin ini, ada yang sangat mengesankan bagi Hasan Basri. Yaitu pada waktu itulah pertama kali ia bertemu dengan Buya Hamka, yang ketika itu Buya Hamka sedang berkunjung ke Banjarmasin sebagai utusan Muhammadiyah pusat. Ia sangat terkesan dengan ceramah serta penampilan Buya Hamka dalam berceramah, sehingga ia bertekad untuk bisa tampil berpidato sebagaimana Buya Hamka itu. Karena ini menjadi tekad nya, sudah barang tentu usaha kearah itu senantiasa ia lakukan hingga dikemudian hari apa yang menjadi tekadnya itu menjadi kenyataan.
Di MTs Muhammadiyah Banjarmasin Hasan Basri menempuh  pendidikan selama 3 tahun. Ia menamatkan pendidikan disekolah ini pada tahun 1938. Disekolah ini kecerdasan dan kepandaiain Hasan Basri tetap menonjol seperti disekolah sebelumnya. Kelulusanya pun ketika menamatkan pendidikan di sekolah ini adalah dengan prestasi yang memuaskan. Dengan kelulusan yang demikain, ia bisa diterima disekolah Zu’ama Muhammadiyah di Yogyakarta, jika ia ingin melanjutkan sekolahnya. Sedangkan di Banjarmasin saat itu belum ada sekolah lanjutan diatas dari tingkat Tsanawiyah.
Setelah menamatkan pendidikanya di Banjarmasin, Hasan Basri dikirim oleh kakeknya ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikanya di Sekolah Zu’ama Muhammadiyah. Sekolah Zu’ama ini bertujuan untuk mendidik kader ulama dan pemimpin. Mereka yang dididik disini diharapkan setelah tamat selain meiliki pengetahuan agama juga mampu tampil menjadi pemimpin. Sekolah Zu’ama ini merupakan sekolah yang bergengsi dilingkungan Muhammadiyah dan bahkan sekolah Zu’ama yang dimiliki oleh umat islam di Indonesia kala itu.
Guru-guru yang mengajar disekolah Zu’ama Muhammadiyah ini diantaranya adalah tokoh-tokoh terkemuka seperti KH. Mas Mansyur, KH. Farid Ma’ruf, Abdul Kahar Muzakir, KH.Badawi dan Buya A.R Sutan Mansur.[1]
Ketika Hasan Basri bersekolah di Sekolah Zu’ama Muhammadiyah Yogyakarta itu, ia menggunakan kesempatan pula diluar sekolah untuk belajar politik. Belajar politik dimaksudkan disini ialah ia sering mengikuti rapat-rapat politik Partai Islam Indonesia (PII). Para pemimpin partai ini dimasa itu ialah Dr. Sukiman, Wiwohopurbohadidjojo, Wali Alfatah, KH.Taufiqurrahman, Ghofar Ismail, Dll. Apa yang dilakukan Hasan Basri ini yakni mengikuti rapat-rapat politik, jelas menunjukkan bahwa ia mempunyai perhatian terhadap kegiatan politik. Terutama bagi kaum muda yang dikemudian hari akan menjadi pemimpin. Mengetahui soal politik itu penting bukan saja bagi yang ingin menjadikanya sebagai bekal untuk terjun ke dunia politik, tetapi juga penting bagi seorang pemimpin, terutama selaku pemimpin umat, agar ia tidak mudah terjerumus menjadi korban politik.
Setelah selama 3 tahun menempuh pendidikan di sekolah Zu’ama Muhammadiyah Yogyakarta dan berhasil menamatkanya pada tahun 1941, Hasan Basri kembali ke Kalimantan.
Disamping mendapatkan ilmu melalui pendidikan formal di sekolah, Hasan Basri juga banyak mendapatkan ilmu dengan belajar sendiri. Caranya ialah dengan banyak membaca. Dalam hal memperluas pengetahuan mengenai tafsir Al-Qur’an, ia membaca kitab Tafsir al-jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir. Dal memperluas pengetahuan tentang sejarah Nabi Muhammad saw., ia membaca kitab Sirah Nabi Muhammad saw. Dalam memperluas pengetahuan tentang pendidikan Islam, ia membaca buku Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah. Untuk menambah pengetahuan dalam bahasa arab, ia membaca buku Durus al-Loghah al-Arabiyah.

  1. Hidup Berumah Tangga
Hasan Basri mulai hidup berumah tangga pada usia 21 tahun. Ia menikah pada tanggal 8 November 1941 dengan seorang wanita bernama Nurhani. Nurhani pada waktu itu masih berusia 17 tahun. Ia lahir di Kandangan Kalimantan Selatan pada Tanggal 19 Januari 1924. Ketika menikah itu nurhani masih duduk ditingkat 3 sekolah Za’imat Muhammadiyah Yogyakarta. Pada wkatu dilangsungkan pernikahan itu ia sedang libur dan pulang kampung ke kandangan. Karena telah menikah dan mulai hidup berumah tangga, pada waktu ia tidak mungkin lagi untuk kembali ke Yogyakarta guna menyelesaikan pendidikanya.
Nurhani adalah anak kedua dari 8 bersaudara. Ayahnya bernama Thawaf Saleh dan ibunya bernama Antung Imur. Thawaf Saleh adalah seorang pedagang berasal dari daerah kandangan. Ia dikenal sebagai orang yang dermawan.
Dalam hal pendidikan, nurhani sangat beruntung untuk ukuran pada masa itu. Ia dapat bersekolah di HIS (Hollands Inlansche School) hingga tamat. HIS adalah salah satu sekolah milik pemerintah belanda yang ada dikandangan pada masa itu.
Peran Nurhani dalam menciptakan keharmonisan dan keserasian hidup berumah tangga tampaknya cukup besar. Misalnya, setelah mereka menikah Nurhani ikut bersama Hasan Basri menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyyah di Marabahan Kalimantan Selatan.[2]
Ketika Hasan Basri dan istrinya semasa di Kalimantan sewaktu Hasan Basri aktif dalam kegiatan pergerakan dan Politik, istrinya juga ikut melibatkan diri. Misalnya, ketika Hasan Basri membentuk BASMI (Barisan Serikat Muslimin Indonesia), nurhani ikut melibatkan diri. Ia duduk dibagian muslimatnya. Tugas yang dilakukanya adalah mengkoordinir bagian wanita. Begitupula ketika Hasan Basri sibuk dengan kegiatan Pergerakan, baik bergerak dalam menghubungi kaum Gerilya di hutan-hutan maupun bergerak di gelanggang politik, nurhani tetap menjalankan tugasnya selaku istri sebagai ibu Rumah Tangga. Saat itu Hasan Basri tidak bisa tinggal menetap disatu tempat. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan pernah menyamar sebagai pedagang minyak agar tidak dikenal orang banyak. Dalam saat-saat yang demikian, istrinya dengan susah payah rela dan ikhlas mengasuh anak-anak sambil memikirkan suami dalam tugasnya.
KH. Hasan Basri menjalani hidup berumah tangga dengan isterinya Hj. Nurhani dimulai sejak 8 Nopember 1941 sewaktu di Kalimantan sampai ia wafat pada 8 Nopember 1998 di Jakarta.

  1. Berbagai Aktivitas Penting dalam Sejarah Hidupnya
1.   Aktivitas Semasa di Kalimantan
  1. Menjadi Guru Agama dan Qadhi
Setamat sekolah di Zu’am Muhammdiyah Yogyakarta ia kembali ke Kalimantan pada tahun 1941. Pada tahun itu juga ia menikah dengan Nurhani. Bersama-sama dengan isterinya menjadi guru Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah.
Pada tahun 1942 mereka mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di Marabahan. Sebagai guru di sekolah ini, Hasan Basri dan isterinya masing-masing di gaji Rp. 2,50,- per bulan. Kegiatan Hasan Basri dan isterinya sebagai guru hanya berjalan kurang lebih tiga tahun yaitu hanya sampai pada tahun 1994.
Pada tahun 1945, Hasan Basri diangkat menajdi Qadhi. Ia diangkat menjadi Qadhi tingkat Kecamatan di Muara Teweh oleh pemerintah Jepang. Qadhi dalam bahasa Jepang disebut Togoko Guco adalah sebutan untuk Kepala Kantor Urusan Agama pada masa itu. Sejak diangkat menjadi Qadhi itu nama Hasan Basri mulai dikenal, baik di Muara Teweh dan Banjarmasin.
Jabatan Qadhi yang dipegang Hasan Basri sempat selama satu tahun. Sebagaiman disebutkan di atas bahwa Hasan Basri diangkat menjadi Qadhi adalah oleh pemerintah Jepang. Pada waktu itu Kalimantan, termasuk Muara Teweh berada di bawah kekuasaan Jepang. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, dan tentara Sekutu masuk ke Kalimantan, maka Jepang terpaksa harus meninggalkan Kalimantan. Karena itu, dengan sendirinya jabatan Qadhi yang dipegang Hasan Basri pada waktu itu juga berakhir.
      2.   Aktivitas Setelah Menetap di Jakarta
      a.   Aktivitas di Bidang Politik
            Sejak diangkat menjadi anggota Parlemen (DPR) RIS pada tahun 1950, Hasan Basri mulai menetap di Jakarta. Setelah di Jakarta ini ia mulai melihatkan diri di dunia politik di tingkat nasional. Sewaktu di Kalimantan, melaui organisasi SERMI (serikan muslimin Indonesia) ia telah menjadi anggota Masyumi dan setelah di Jakarta ia tetap menjadi anggota partai tersebut ini. Begitu pula sewaktu di Kalimantan ia telah mendirikan GPII (gerakan partai Islam Indonesia) untuk tingkat lokal, dan setelah di Jakarta ia aktif di GPII di tingkat nasional.
            Setelah RIS (republik Indonesia serikat) dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950, dan kembali terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, DPR-RIS dirubah menjadi DPRS (dewan perwakilan rakyat sementara). DPRS ini berakhir pada tahun 1955. DPRS dibubarkan kemudian diganti menjadi DPR (dewan perwakilan rakyat) hasil pemilihan umum tahun 1955.
            Dalam Pemilu tahn 1955 ini, Hasan Basri terpilih kembali menjadi anggota DPR. Ia terpilih menjadi anggota DPR dari partai Masyumi mewakili daerah Kalimantan Selatan.
            Di samping aktif sebagai anggota DPR dan aktif di partai Masyumi, Hasan Basri juga aktif di GPII di tingkat pusat. Dalam muktamar GPII tahun 1951 di Medan, Hasan Basri terpilih menjadi Wakil Ketua GPII Pusat. Yang menjadi ketuanya adalah Anwar Harjono, sekretaris Rusli, dan wakil sekretari Abdul Fatah dan Ny. Nurhani (isteri Hasan Basri) bersama-sama Chadijah Razak. Hasan Basri menjabat Wakil ketua GPII pusat selama 12 tahun, yaitu dari tahun 1951 – 1963.

      b.   Aktivitas Dakwah dan Organisasi Sosial Keagamaan
            Melakukan dakwah sebenarnya telah dijalankan oleh KH. Hasan Basri sejak masa muda sewaktu masih di Kalimantan dan setelah menetap di Jakarta hal itu tetap ia lakukan. Akan tetapi ia aktif di dumia polotik iakurang aktif dalam melakukan dakwah.setelah menghentikan aktivitasnya di bidang politik, ia memusatkan aktivitasnya dalam kegiatan dakwah . di samping aktif dalam kegiatan dakwah itu ia juga aktif di organisasi social keagamaan.
Latihan berpidato yang di berikan oleh Haji Abdullah,kakek Hasan Basri di waktu msih anak-anak yaitu ketika ia masih di madrasah diniyah awwalinyah islamiyah,dan latihan berpidato (muhadharah) yang di terima hasan basri di sekolah tsanawiyah (SMP) muhammadiyah banjarmasin,ternyata sangat besar manfaatnya bagi hasan basri setelah ia dewasa.latihan berpidato yang di berikan oleh kakek nya dan latihan berpidato (muhadharah) yang di terimanya di sekolah tsanawiyah itulah yang membantunya mahir (terampil) dalam berpidato.ketarampilan dalam berpidato ini menjadi bekal bagi H.Hasan Basri untuk dapat tampil dalam kegiatan dakwah.
H.Hasan Basri melakukan dakwah adalah melalui khutbah-khutbah jum’at, ceramah-ceramah agama di masjid-masjid, mushalla, majlis ta’lim, ceramah dalam peringatan isra’ dan mi’raj, peringatan maulid, peringatan tahun baru Islam, peringantan nuzul al-qu’an, khutbah idul fitri dan idul adha, dan dalam berbagai kesempatan lainya. Kegiatan semacam ini bagi H. Hasan Basri telah menjadi bagian tugas yang di tekuninya sejak masa muda sewaktu masih di Kalimantan, dan setelah menetap di Jakarta kegiatan tersebut tetap di lakukanya.bagi H. Hasan Basri, selaku seorang ulama, melaksanakan dakwah adalah suatu kewajiban. Ulama berkewajiban untuk menyerukan kepada umat manusia agar mencari ridha allah dan tetap berada di jalan allah.dan juga ulama berkewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Selama H.Hasan Basri aktif di dunia  politik,yaitu selam ia aktif dalam partai masyumi dan selama menjadi anggota DPR dari tahun 1950 sampai tahun 1960,kegiatan dakwak tetap tidak di lepaskanya.yakni tidak pernah ditinggalkanya sama sekali.hanya saja karena kesibukanya di dalam kegiatan partai dan kesibukanya dalam tugas selaku anggota DPR membuat nya terasa kurang aktif dalam kegiatan dakwah.selaku anggota partai dan kemusian terpilih menjadi anggota pimpinan dan merangkap sebagai pengurus harian partai tentu saja terkadang ia di sibukkan oleh kegiatan-kegiatan seperti siding-sidang dewan, rapat-rapat komosi serta rapat-rapat praksi, dan terkadang di tambah lagi dengan kesibukan pada masa resep dimana para anggota DPR harus melakukan kunjungan ke daerah-daerah.sementara itu ia terpaksa harus mengurangi kegiatan dakwahnya, dan terkadang ia terpaksa harus meninggalkan kegiatanya seperti menyampaikan khutbat jum’at dan memberikan ceramah agama. Akan tetapi kegiatan seperti ini di tinggalkanya hanya sewaktu-waktu saja yakni bila ia dalam kesibukan atau dalam keadaan berhalangan.
Setelah DPR hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan oleh presiden soekarno pada buloan maret tahun 1960 dan partai masyumi membubarkan diri pada bulan September 1960 atas perintah presiden soekarno,maka kesibukan H.Hasan Basri selaku anggota DPR sudah berhenti dan kesibukanya dalam kegiatan partai sudah tidak ada lgi.sejak itulah H.Hasan Basri mulai memusatkan aktivitasnya dalam kegiatan dakwah dan organisasi social keagamaan.dan setelah usaha rehabilitasi masyumi gagal serta muktamar parmusi pertama tidak membawa hasil sesuai yang di harapkan,H.Hasan Basri sudah didak tertarik lagi dengan kegiatan politik,maka mulai saat itu baru ia dapat memusatkan aktivitasnya sepenuhnya pada kegiatan dakwah dan organisasi social keagamaan.
Sesudah tahun 1960-an nama H.Hasab Basri mulai menjadi terkenal dan keulamaanya mulai mendapat pengakuan masyarakat. Yang membuatnya menjadi terkenal itu adalah karena aktivitasnya dalam kegiatan dakwak. Kegiatan dakwah itu di lakukanya melalui khutbah dan ceramah-ceramah agama.ia tampil menjadi khatib,menyampaikan khutbah setiap jum’at, dari masjid ke masjid, dan aktif memberikan ceramah agama di malelis ta’lim,di masjid dan mushalla,serta pada peringatan hari-hari besar islam, dan sebagainya. Lewat aktivitasnya ini keulamaanya mulai muncul ke permukaan.keulamaannya itu kemudian mendapat pengakuan masyarakat.pengakuan masyarakat kepada keulamaanya ini terlihat dari penghormatan mereka kepadanya dengan memberikan sebutan “kyai” di depan namanya. Pada undangan atau surat permohonan yang di sampaikan masyarakat kepadanya untuk memohon kesediaanya menyampaikan khutbatba atau memberikan ceramah agama, namanya di tulis dengan sebutan KH. Hasan Basri. Sebutan “kyai”yang di berikan oleh masyarakat kepadanya ini dapat di artikan bahwa keulamaanya itu telah mendapat pengakuan dari masyarakat.sejak sesudah tahun 1960-an itulah dan seterusnya nama H. Hasan Basri terkenal dengan sebutan KH. Hasan Basri.
Disamping aktif dalam kegiatan dakwah, KH.Hasan Basri juga pernah ikut bergerak dalam lembaga dakwah. Lembaga dakwah tersebut ialah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). DDII ini didirikan oleh Mohammad Natsir pada tahun 1967. Dalam DDII ini KH.Hasan Basri menduduki jabatan sebagai bendahara. Ia menjadi bendahara di lembaga ini sejak lembaga ini didirikan tanggal 9 mei 1967.[3]
KH.Hasan Basri juga aktif dalam organisasi-organisasi sosial keagamaan. Organisasi-organisasi social keagamaan dimaksud terutama adalah yang berhubungan dengan masjid, lembaga pendidikan Islam dan urusan umat islam.

       c.  Aktivitas Menulis
            KH. Hasan Basri sejak tahun 1975-an sampai akhir hayatnya pada tahun 1998 telah menghasilkan sejumlah tulisan dalam jumlah yang cukup banyak. Diantaranya yaitu “Bersyukur dan Tafakkur”, “Haji dan Qurban”, “Kepemimpinan Majelis Ulama Indonesia”, “Perlunya Kompilasi Hukum Islam”, “Arti Pendidikan Agama bagi Kawula Muda”, “Peran Ulama Menyongsong Tahun 2000”, “Keadilan Kunci Tegaknya Kewibawaan Hukum”, “Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan”, Menguak Laut Menuju Cita”, “Tulang Punggung Negara”, “Ikhlas Dalam Beramal”, “Ulama Pewari Para Nabi”, “Menyantuni Anaka Yatim” dll.

  1. Pemikiran-Pemikiran KH. Hasan Basri
Pemikiran-pemikiran yang kami maksud disini adalah pemikiran KH.Hasan Basri dalam masalah Aqidah,  hukum Islam, tasawuf dan akhlak, tentang dakwah, tentang ulama dan tentang posisi MUI.
1.      Tentang Aqidah
Dari sejumlah tulisanya yang ada, tidak terdapat tulisan yang secara khusus membicarakan masalah aqidah. Pemikiran KH.Hasan Basri mengenai masalah aqidah hanya terdapat dalam bagian-bagian dari tulisanya saja. Pemikiranya yang berkenaan dengan masalah aqidah hanya berkenaan dengan 3 hal, yaitu: tentang tauhid dansyirik, tentang hubungan iman dengan amal dan tentang pandanganya terhadap ajaran aqidah yang menyimpang dari aqidah ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jama’ah). [4] 
  1. Tentang Hukum Islam
Dari sejumlah tulisan KH.Hasan Basri yang ada, hanya terdapat satu tulisan yang membicarakan tentang hokum islam. Tulisan tersebut berjudul “Perlunya Kompilasi Hukum Islam”.[5] Dalam tulisanya ini sebelum membicarakan tentang perlunya kompilasi hokum islam, ia lebih dahulu membicarakan tentang perbedaan syari’ah dengan fiqh, kemudian baru ia membicarakan tentang perlunya kompilasi hukum islam di Indonesia.
Memulai tulisanya tersebut, KH.Hasan Basri mengatakan secara garis besar hokum islam terbagi menjadi dua. Pertama, hokum Islam yang secara jelas dan tegas telah disebutkan oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dimana nash-nash itu tidak mengandung pentakwilan. Kedua, hokum Islam yang secara tegas dan jelas belum / tidak disebutkan oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah, ia baru diketahui setelah digali melalui ijtihad para imam mujtahid. Hokum Islam kategori pertama terkenal dengan istilah syari’ah dan hokum Islam kategori kedua dikenal dengan istilah fiqh. 
  1. Tentang Tasawuf dan Akhlak
Dalam berbagai tulisan KH.Hasan Basri yang ada, tidak terdapat tulisannya yang secara khusus membicarakan masalah tasawuf. Yang terdapat hanya ia pernah menyinggung sepintas tentang zuhud. Seperti yang diketahui bahwa zuhud adalah termasuk Tasawuf. Jadi dalam hal inilah terdapat pembicaraan KH. Hasan Basri sepintas dalam masalah tasawuf. Beralih kepada pemikiran KH. Hasan Basri dalam masalah akhlak. Dalam masalah akhlak ini KH. Hasan Basri banyak mencurahkan perhatian dan pemikirannya.
      4.   Tentang Dakwah
Pemikiran KH. Hasan Basri tentang dakwah terdapat di dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Proses Dakwah Dalam Pembangunan Islam di Indonesia”. Di dalam tulisanya ini tampaknya ada tiga hal yang ia tekankan, yaitu: tentang metode dakwah, tentang dakwah dalam menghadapi perubahan masyarakat, dan tentang dakwah masa depan.
5.   Tentang Ulama
Sebagai orang yang banyak berkecimpung di Majelis Ulama Indonesia, KH. Hasan Basri banyak mengemukakan pemikiran tenang ulama. Pemikiran-pemikiran KH. Hasan Basri tentang ulama itu antara lain adalah: tentang tugas dan fungsi ulama, sifat yang perlu dimiliki ulama pemimpin ummat, peranan ulama dalam pembangunan, dan hubungan ulama dengan umara.
a.       Tugas dan Fungsi Ulama
Ulama sebagai pewaris para nabi, menurut KH. Hasan Basri, mempunyai tugas tertentu. Di samping itu, ulama juga berkewajiban menjalankan fungsi keulamaannya. KH. Hasan Basri kelihatannya punya pendapat dan pandangan tersendiri mengenai tugas dan fungsi ulama. Pada garis besarnya ada tiga macam tugas utama para ulama, yaitu sebagai berikut:
Yang pertama, para ulama harus melakukan apa yang disebut dengan dengan “ tafaqqahu fi al-din”, yaitu berusaha memperdalam dan memperluas pemahaman tentang agama.
Yang kedua, tugas ulama adalah memberikan peringatan kepada masyarakat mengandung arti bahwa para ulama berkewajiban mengingatkan kepada masyarakat atau umat agar jangan melanggar larangan-larangan agama, dan memberi informasi tentang ancaman-ancaman Allah bagi orang yang  melanggar larangan agama tersebut.
Yang ketiga, tugas ulama adalah membimbing ummat untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama dan menerapkan nilai-niai agama dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
b.      Sifat Yang Perlu Dimiliki Ulama Pemimpin Ummat
Menurut KH. Hasan Basri, ulama sebagai pewaris para nabi adalah merupakan pemimpin ummat. Sebagai pemimpin ummat menurutnya ada beberapa sifat yang perlu dimiliki para ulama yaitu:
·         Memiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang ilmu agama.
·         Mampu mengamalkan ilmunya (ajaran-ajaran islam)dan memiliki semangat keagamaan islam yang tinggi.
·         Mempunyai pendirian yang tetap (istiqamah) terhadap ilmu dan keyakinannya.
·         Mampu mengajak dan mempengaruhi masyarakat agar dengan penuh kesadaran dan kemauan untuk memberikan sumbangan kepada negara dan bangsanya.
·         Mamppu memberikan jalan keluar dan kemudahan kepada masyarakat untuk mengatasi permasalahan.
Para ulama dan pemimpin ummat juga harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti kuat dalam aqidah, adil dan jujur, berpandangan luas dan tidak fanatik golongan, mencintai dan mengutamakan kepentingan ummat dari pada kepentingan pribadi dan golongan, mampu menumbuhkan kerja sama dan solidaritas sesama ummat, ikhlas dan bertanggung jawab serta memiliki sifat-sifat kepemimpinan lainnya.
c.       Peranan Ulama dalam Pembangunan
Menurut KH. Hasan Basri, sejarah memberi petunjuk bahwa pergerakan dan perjuangan bangsa indonesia tidak pernah lepas dari peranan ulama dan pemimpin ummat. Dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan mereka membimbing dan memimpin ummat agar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah serta memproleh kesejahteraan hidup lahir dan batin di dunia dan di akhirat.
Dalam era pembangunan sekarang ini, menurut KH. Hasan Basri, setidaknya ada tiga hal penting yang harus dilakukan oleh pemimpin dan ulama ummat. Yaitu, pertama memberikan bimbingan dan binaan kepada ummat dalam melaksanakan ajaran agama islam dengan baik dan benar. Kedua, memberikan penerangan dan motivasi keagamaan dalam melaksanakan pembangunan; dan ketiga, memberikan petunjuk dan pengarahan kepada ummat dalam menghadapi tantangan zaman agar mereka tetap tegak secaara islami di tengah-tengah modernisasi.[6]

  1. Sifat-sifat Kepemimpinan KH. Hasan Basri Dalam Mengemban Tugas Memimpin MUI
Keberadaan Majelis Ulama Indonesia selama berada dibawah kepemimpinan KH. Hasan Basri telah berjalan dengan baik. Hal yang menunjukan demikian antara lain  adalah Majelis Ulama Indonesia telah berhasil menjalin persatuan dan kesatuan dikalangan pengurus dan para anggotanya yang terdiri dari para ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim yang berasal dari berbagai golongan dan organisasi, dan telah mampu menjaga keharmonisan dengan pemerintah, serta telah mampu menempatkan posisinya di tengah-tengah ummat dan pemerintah.
Dapat berjalannya Majelis Ulama Indonesia dengan baik itu, tentu saja tidak lepas dari sifat-sifat kepemimpinan yang dijalankan oleh KH. Hasan Basri dalam mengemban tugas memimpin lembaga tersebut. Sifat-sifat kepemimpinan yang dijalankan KH. Hasan Basri itu diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut.
1)      Selalu mengedepankan musyawarah dan kebersamaan
2)      Arif dan bijaksana serta bersikap hati-hati dalam bertindak
3)      Sangat berhati-hati dalam soal uang
4)      Sabar dan tabah dalam menghadapi dan mengatasi masalah
5)      Banyak memberi ketelaanan dan tidak banyak bicara
6)      Selalu menjaga hubungan baik dengan pemerintah


BAB III
PENUTUP
           
            A. Kesimpulan
Dari paparan-paparan mengenai sejarah hidup KH. Hasan Basri yang telah ditampilkan dalam bab-bab terdahulu dan dihubungkan kepada masalah pokok yang dikemukakan dalam bab pendahuluan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
KH. Hasan Basri, yang dimasa hidupnya dikenal sebagai tokoh ulama nasional terkemuka dikalangan ulama pada Majelis Ulama Indonesia, adalah sosok ulama yang memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya yang paling nampak adalah ia sebagai ulama, intelektual dan pemimpin. Ia sebagai ulama, dalam pengertian memiliki pengetahuan agama islam dan menjalankan fungsi ulama serta keulamaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Ia termasuk kategori ulama yang memanfaatkan ilmunya bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang-orang lain. Sebagai intelektual, dalam pengertian banyak mengeluarkan dan menyumbagkan pemikiran-pemikirannya teutama melalui sejumlah tulisan yang dihasilkanny. Sebagai pemimpin, dalam pengertian seorang tokoh yang banyak menduduki posisi pimpinan di beberapa organisasi atau lembaga baik keagamaan maupun kemasyarakatan dan terutama di Majelis Ulama Indonesia.
KH. Hasan Basri memiliki karakteristik keulamaan, pemikiran, dan kepemimpinan tersendiri. Dalam hal keulamaan, ia tidak menempatkan diri sebagai ulama golongan atau kelompok tertentu. Ia merupakan figur ulama yang dapat berada di semua golongan ummat islam terutama ummat islam yang berada si tanah air ini. Dalam hal pemikiran,  terutama pemikiran keagamaan, ia selalu berfikiran yang moderat, selalu menghargai dan menghormati pemikiran atau pendapat orang lain, meskipun berbeda dengan pemikiran atau pendapatnya sendiri. Dalam hal kepemimpinan, terutama dalam menjalankan kepemimpinan, ia lebih mengedepankan kepentingan bersama dari kepentingan pribadi dan kelompok atau golongan, sabar dan tabah dalam menghadapi masalah, dalam memutuskan hal-hal yang penting selalu diputuskan melalui musyawarah, selalu jujur dan amanah serta bertanggung jawab atas kepemimpinan yang dijalankannya.
Dalam masa kepemimpinan KH. Hasan Basri, Majelis Ulama Indonesia sesuai dengan tugas dan fungsinya, banyak melakukan kegiatan dan usaha-usaha yang manfaatnya dapat dirasakan oleh umat, utamanya umat islam di indonesia. Di samping itu, Majelis Ulama Indonesia juga berhasil menjalin kerjasama yang baik serta hubungan yang harmonis antara ulama dan umara. KH. Hasan Basri merefleksikan hal-hal penting, antara lain, sebagai berikut.
Ulama yang mengamalkan ilmu agama yang dimilikinya dan mentransfer ilmunya kepada orang lain serta memainkan peranan sebagai pemuka agama di tengah masyarakat, keulamaannya akan mendapat pengakuan dari masyarakat.
Ulama yang memiliki pemikiran keagamaan yang moderat dan tidak menampakkan diri sebagai ulama golongan tertentu serta bisa menempatkan diri di berbagai golongan umat, keberadaannya sebagai ulama akan dapat diterima oleh berbagai golongan umat tersebut.
Seorang pimpinan yang menjalankan kepemimpinannya ia lebih mengedepankan kepentingan bersama atau kepentingan orang banyak dari kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompok atau golongan, memiliki kejujuran dan amanah serta beertanggung jawab, ia akan diakui sebagai pemimpin dan akan mendapat kepercayaan serta dukungan dari kalangan umat yang berada di bawah kepemimpinannya. Bagi ulama yang menduduki posisi pimpinan di Majelis Ulama Indonesia, disamping punya karakteristik seperti itu, mampu pula menjalin kerjasama yang baik dan hubungan yang harmonis antara ulama dan umara, ia akan mendapat kepercayaan dan dukungan, baik dar pihak umat maupun dari kalangan ulama dan dari pihak pemerintah.



DAFTAR PUSTAKA

DR. Hadariansyah,  (2010 ).  KH.Hasan Basri kajian biografis tokoh MUI. Antasari Press, Banjarmasin.
Ramlan Mardjoned (ed). (1990) KH.Hasan Basri 70  tahun.
Biodata KH.Hasan Basri dalam bukunya Risalah Islamiyah Rahmat Bagi Alam Semesta.



[1]  Ramlan Mardjoned (ed), KH.Hasan Basri 70  tahun, h.16.
[2] Biodata KH.Hasan Basri dalam bukunya Etika Bermasyarakat, h.291-292
[3]  Biodata KH.Hasan Basri dalam bukunya Risalah Islamiyah Rahmat Bagi Alam Semesta, h.210.
[4]  DR. Hadariansyah, KH.Hasan Basri kajian biografis tokoh MUI, Antasari Press, Banjarmasin.2010, hal. 156.
[5]  Tulisan tersebut berupa artikel, dimuat dimajalah bulanan Mimbar Ulama, No.104, Tahun X, Sya’ban 1406 H/ April 1986 M.
[6] Mimbar Ulama, ibid., h. 9; KH. Hasan Basri, “Ulama Pewaris Para Nabi”.

Komentar

Postingan Populer