PERLUKAH BERMAZHAB ?
oleh:
Siti Sholihatudz Dzikriyah
A.
Pengertian
Mazhab
Menurut
bahasa, mazhab berarti jalan atau tempat yang dilalui.[1]
mazhab berasal dari shigat masdar mimy (kata sifat) dan isim
makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fiil madhi dzhaba
(ذهب( yang berarti pergi. Bisa
juga berarti al-ra’yu (الرأي) yang artinya
“pendapat”.[2]
Menurut M. Bahri Ghazali dalam bukunya perbandingan mazhab, mazhab
diartikan sebagai tempat berjalan. Dalam istilah islam berarti pendapat,paham atau
aliran seseorang alim besar dalam islam yang disebut imam.[3]
Menurut
istilah para fakih, mazhab memiliki pengertian yaitu pendapat seorang imam
mujtahid tentang hukum suatu masalah berisi kaidah-kaidah istinbath yang
dirumuskan oleh seorang imam mujtahid.[4]
Selain itu, terdapat beberapa rumusan lain :
1.
Menurut Said Ramadhany Al-Buthy,
mazhab adalah jalan fikiran (paham / pendapat) yang ditempuh oleh seorang
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari Al-Qur’an dan Hadis
2.
Menurut Huzaemah Tahido Yanggo,
mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam
mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an
dan Hadis.[5]
Dari
beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab
menurut istilah, yaitu hasil ijtihad
seorang imam (mujtahid mutlak mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau
tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian, pengertian bermazhab adalah
mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang
kaidah-kaidah istinbath.[6]
Maka, Ketika seseorang berpendapat dengan
mengikuti pendapat orang lain yang dianggapnya baik, maka dia sedang bermazhab.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata, “Setiap
mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah
al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” Maka, Perlu
diketahui bahwa kebanyakan dalil Quran dan Sunnah seringkali menyisakan ruang
yang memungkinkan orang berbeda pendapat dalam menyimpulkan konklusi hukumnya.
Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahkan hal itu bukan hanya dialami
oleh kita yang sama saja, tetapi juga terjadi di kalangan para sahabat Nabi.[7]
B.
Timbulnya
Mazhab Fiqh
Setelah wafatnya Rasulullah Saw. Sahabat tersebar diberbagai
pelosok dunia islam. Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan
intelektual. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang didaerahnya untuk
dimintai keputusan yang berkaitan dengan
berbagai persoalan. Mereka memberi keputusan berdasarkan apa yang mereka pernah
pelajari dari Rasulullah Saw, atau berdasarkan apa yang mereka fahami dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka juga
mendasarkan pada pendapat sendiri dengan melihat syari’ah (illat) yang menuntun
Rasulullah untuk mengambil keputusan.[8]
Jika ditinjau dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya
mazhab-mazhab fiqh merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’.
Munculnya mazhab-mazhab fiqh lahir dari perkembangan sejarah sendiri melalui
berbagi macam ijtihad yang dikeluarkan ulama, bukan karena pengaruh hukum
romawi sebagaimana dituduhkan oleh orientalis. Hal ini terlihat dari adanya
pemikiran fiqh Sejak masa sahabat, tabiin dan ulama-ulama setelah mereka, telah
banyak mazhab yang timbul sehubungan dengan meluasnya daerah islam, dan
bermunculannya masalah baru sehingga diperlukan adanya ijtihad. Dikalangan
syi’ah, dikenal dengan mazhab Zaidy, Imamy (Jakfari), Ismaili, Duruzy dan
lain-lain. Dikalangan khawarij dan mktazilah dikenal pula mazhab Abadzy dan
lain-lain. Sedangkan dikalangan Ahlus Sunnah diketahui munculnya mazhab-mazhab
berikut : [9]
1.
Mazhab Imam Abu Sa’id Alhasan bin Yasaar
Albashry (w.110H)
2.
Mazhab Abu Hanifah Annu’maan bin
Tsabit bin Zuuthy, (w.150H)
3.
Mazhab Auzaa’iy Abu Amru Abdullah
bin Amru bin Muhammad (w.157H)
4.
Mazhab Imam Soufyan bin Sa’id bin
Masruq Ats Tsaury (w.160H)
5.
Mazhab Imam Al-Laits bin Sa’ad
(w.175H)
6.
Mazhab Imam Malik bin Anas
al-Ashbuhy (w.179H)
7.
Mazhab Imam soufyan bin Uyainah
(w.198H)
8.
Mazhab Imam Muhammad bin Idris
Asy-Syaafi’iy (w.204H)
C.
Hukum Berpegang
Pada Mazhab Tertentu
Al-Imam Malik
mengatakan: “Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan
terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan
Al-Qur`an dan As-Sunnah, ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan
Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” Beliau juga berkata: “Siapapun
orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi (yang
wajib diterima).”[10]
Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang
secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya
meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” Beliau juga berkata: “Bila
suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits,
tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama
aku hidup maupun setelah aku mati.”[11]
Dari pendapat
para ulama di atas, dapat disimpulkan
bahwa ulama mazhab besar tidak mau apa yang mereka ajarkan adalah sesuatu yang
paling benar dari yang lainnya. Bentuk penghormatan atas pendapat orang lain,
toleransi atas apa yang dilakukan orang lain telah membawa mereka dalam
keharmonisan yang akhirnya harus dirusak oleh para pengikut mereka, orang –
orang yang mengaku-aku bahwa apa yang diajarkan oleh alim mazhab mereka adalah
yang paling benar, sedangkan alim mazhab tidak pernah ditemukan kewajiban
mengikuti mereka. Kemudian mengapa harus ada statement yang muncul untuk adanya
kewajiban bermazhab pada mazhab tertentu, apa sebenarnya melatarbelakangi
munculnya kewajiban tersebut?.
Imam
az-Zarkasyi dalam kitabnya Bahru al-Muhiith menyatakan apakah orang awam
wajib bertaqlid dengan berpegang kepada mazhab tertentu dalam setiap
permasalahan ? menurutnya terdapat perbedaan pendapat.[12]
Ilkia al-Hirasi
menyatakan bahwa orang awam wajib berpegang dengan mazhab tertentu. Sedangkan
menurut ibnu burhan tidak wajib. Karena,para sahabat r.a tidak mengingkari
sikap golongan awam yang bertaqlid kepada beberapa diantara mereka tanpa adanya
pengikatan tertentu. Sebagian pengikut mazhab Hanbali mengatakan,ini adalah
mazhab Ahmad. Sedangkan ia pernah berkata kepada para pengikutnya “jangan kamu
bawa manusia pada mazhabmu, Karena niscaya mereka akan keluar dari mazhab mu.
Biarkanlah mereka bebas memilih mazhab-mazhab umat yang ada.[13]
Pada zaman
dahulu para salaf bertaklid kepada siapa yang mereka sukai sebelum munculnya
empat mazhab. Namun Ibnu al-Munir bersikap moderat dalam permasalahan ini bahwa
dalil yang menunjukkan realita orang-orang mulai berpegang dengan mazhab-mazhab
tertentu adalah terjadi setelah mazhab empat muncul,bukan masa sebelumnya. Adapun
setelah mazhab dikenal,kitab-kitab berkenaan dengannya dicetak dan dipopulerkan
serta dapat mengetahui pendapat yang fleksibel dan yang keras dalam menyikapi
setiap kejadian atau permasalahan,maka orang yang meminta fatwa tersebut tidak
berpindah mazhab ke mazhab lain kecuali untuk mendapat pemecahan dan kemudahan
dari permasalahannya.[14]
Orang-orang
yang mewajibkan mengikuti mazhab tertentu adalah mereka yang berangkat dari
satu kaidah ushul Fiqh “ Ma la Yatimmu al-Wajib illa bihi fahuwa wajibun”
yang artinya “apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang
wajib, maka wajib hukumnya”. Yakni dalam pemahaman bahwa seorang muslim apabila
mengerjakan amalan ibadah wajib maka hukum untuk mengikuti salah satu mazhab
juga wajib karena mazhab di anggap sebagai perantara untuk melaksanakan ibadah
yang wajib tersebut. Pendapat ini berangkat dari pemikiran bahwa imam mazhab
telah memiliki metodologi tersendiri dalam membangun mazhab, dan semua
pendapatnya itu berangkat dari metodologi yang telah disusunnya, bukan sekedar
pendapat yang bermunculan secara tiba-tiba. Dengan demikian maka
pendapat-pendapat yang bersumber dari satu mazhab tertentu lahir dari sebuah
proses yang teratur dan memiliki pola istinbath yang konsisten. Sehingga bila
berpindah-pindah mazhab akan mengakibatkan ketidak-konsistenan dalam
metodologi. Menurut pendukung pendapat ini, seseorang harus konsisten dalam
metodologi mazhab.[15]
Ada juga
pendapat tentang kewajiban mengikuti salah satu mazhab untuk kalangan khas
yaitu yang tidak berkemampuan dari segi akalnya, seperti bodoh, kurang siuman
(tetapi tidak gila), kekacatan dari kesempurnaan akal dan lain-lain. Termasuk
juga seseorang yang jauh dari sumber ilmu dan masyarakat Islam seperti orang
asli di pendalaman atau siapa saja yang baru memeluk Islam. Juga termasuk
kanak-kanak yang baru belajar atau orang yang baru bertaubat. Bagi mereka
sewajibnya mengikuti seseorang karena tidak ada jalan lain bagi mereka untuk
beribadah yang selamat dari kesesatan atau meninggalkan agama sama sekali.[16]
Adapun pendapat
yang tidak mewajibkan bermazhab berlandasan yang jelas dari pendapat-pendapat
yang dikeluarkan oleh para ulama mazhab yang secara eksplisit menyebut bahwa
pendapat mereka bisa saja berubah jika ada dalil yang lebih kuat dari pendapat
mereka. Sebagai penekanan mereka menegaskan bahwa Allah dan Rasulullah tidak
pernah mewajibkan umat muslim untuk mengikuti salah satu mazhab. Maka tidak
pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan
bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak
boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada
itupun sering berganti pendapat juga seperti halnya imam syafi’i. Maka,
seseorang boleh mengikuti pendapat yang berbeda dari beragam mazhab. Karena
tidak ada perintah untuk berpegang tegus kepada satu orang mujtahid saja.
Ketika seseorang bermazhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah,
Asy-Syafi`iyyah atau pun Al-Hanabilah, maka pada suatu masalah tertentu boleh
saja dia tidak sepakat dengan pendapat mazhabnya. Hal seperti itu lazim terjadi
dan sama sekali tidak ada larangan. Allah sendiri tidak pernah mewajibkan
seseorang untuk betaqlid pada mujtahid tertentu. Kalaupun ada perintah, maka
Allah memerintahkan seseorang untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum.[17]
D.
Pandangan
Mengenai Hukum Taklid Kepada Mazhab
Ada tiga
pandangan mengenai hukum bermazhab :[18]
1.
Wajib Bermazhab
Pendapat ini adalah pendapat orang-orang yang mewajibkan taklid
pada setiap orang, baik itu golongan orang awam maupun golongan para ulama.
begitu juga mereka yang mengharamkan ijtihad bagi para ulama kontemporer, baik
ijtihad secara menyeluruh maupun sebagian saja. Bahkan, mereka menyatakan bahwa
konsep ijtihad sejak beberapa abad silam telah dilaraang dan telah terhenti
secara realitas, serta pintu ijtihad telah tertutup sejakabad keempat atau abad
ketiga, atau bahkan sebelum itu. Pendapat ini berkeyakinan bahwa bertaklid
kepada salah satu mazhab fiqh hukumnya wajib diyaani wajib dari aspek
ketaatan beragama. Mereka tidak membolehkan memilih dan memilah perkataan –
perkataan serta pendapat yang ada untuk diseleksi sehingga mendapatkan pendapat
yang paling benar. Hal ini seperti dikatakan oleh syaikh ash-Shawi al-Maliki,
penulis buku al-Haasiyah ‘komentar’ terhadap kitab asy-Syarh
ash-Shagir karya Syaikh Dardir dalam bidang fiqh, dan al-Hasyiyah terhadap
kitab Tafsir al-Jalalain,beliau berkata “ tidak diperkenankan taklid
kepada selain empat mazhab, walaupun sesuai dengan perkataan para sahabat,
tabiin, hadis shahih, maupun ayat Al-Qur’an. Keluar dari empat mazhab adalah
sesat dan menyesatkan,bahkan dapat menghantarkan kepada kekafiran. Karena,
mengambil zahir ayat Al-Qur’an dan as-sunnah termasuk unsur kekafiran.
Barangkali maksudnya adalah mereka yang mengambil zhahir ayat-ayat yang
berkenaan dengan sifat-sifat Allah, dan hadis-hadis tentang sifat Allah dalam
masalah akidah, yang tidak ditakwilkan, Seperti mazhab salaf. Ulama yang hidup
semasa dengan asy-Syaukani ini (Syaikh ash-Shawi) dinilai terlalu berlebihan
dalam mengeluarkan pendapatnya karena melarang bertaklid diluar empat mazhab.
Pendapat yang mewajibkan taklid (bermazhab) ini termasuk pendapat populer dan
tersebar disekolah-sekolah dan universitas agama seperti di libia, Tunisia,
aljazair, Maroko, Muritania, Universitas Qoruwiyin, dan lain-lain pada kurun
abad terakhir. Sehingga, di institusi pendidikan itulah, mereka
mendoktrinisasai para siswanya dan mengatakan pada mereka “Barangsiapa bertaklid
kepada seorang alim, ia akan bertemu Allah dengan selamat. [19]
Hal ini dilakukan agar umat islam dalam akidah mengikuti mazhab
Asy-‘ari, dalam fikih mengikuti mazhab maliki, dalam Akhlak mengikuti mazhab
Al-Junaidi. Mengenai hal ini Ibnu Asyir mengatakan dalam bait-bait syairnya “Akidah
Asy’ari fikih Maliki, juga tarekat al-Junaid untuk Akhlak”.Namun, beberapa
ulama besar seperti Ibnu Abdul Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim,
As-Shan’ani, as-Syaukani, ad-Dahlawi dan lainnya menolak pendapat ini.[20]
2.
Mengharamkan
Taklid Mazhab dan Mewajibkan Ijtihad
Pendapat ini adalah kebalikan dari pendapat yang pertama. Pendapat
ini mengharuskan setiap muslim untuk mengambil hukum-hukum syari’atdari
Al-Kitab dan as-Sunnah. Juga menolak orang-orang yang bertaklid kepada
mazhab-mazhab tertentu, bahkan menghujat mereka dengan keras, sebagian mereka
memfitnah mazhab - mazhab yang ada. Lebih dari itu, terkadang merka bersikap
melampaui batas terhadap teman-temannya sendiri. Diantaranya adalah ulama ahli
fiqh yang bermazhab Dzhahiri seperti Ibnu Hazm penulis Al-Hikam fi Ushul
al-Ahkam, al-Muhalla, dan al-Fashu fi al-Milal wa an-Nihal. Pendapat
ini didukung oleh kebanyakan ulama masa sekarang, seperti asy-Syaukani dalam
kitab Irsyad al-Fuhuul, as-Sail al-Jaraar, dan risalah al-Qaul
al-Mufid fi Adillah al-Ijtihas wa
at-Taqlid. Dalam bukunya beliau menolak taklid dan menghujat
pelakunya dengan keras. Pada zaman sekarang, mereka yang memegang pendapat
ini adalah golongan ahli hadis seperti
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
3.
Diperkenankan
Taklid kepada Mazhab Bagi Yang Belum Layak Berijtihad
Pendapat ketiga dalam permasalahan ini adalah pendapat penengah
dari kedua penadpat diatas. Mereka tidak
mewajibkan bermazhab secara mutlak sebagaimana pendaapat pertama, dan tidak
mengharamkannya secara mutlak. Tetapi, membolehkanya pada orang-orang tertentu
dan mengharamkannya kepada yang lain. Pendapat inilah yang dipegang oleh Hasan
Al-Bana. Menurutnya setiap muslim yang belum mampu menganalisa dalil-dalil
hukum syariat islam, hendaknya mengikuti (ittiba’) salah seorang imam dari
imam-imam kaum muslimin. Alangkah baiknya ia berusaha mengetahui dalil-dalilnya
sesuai kadar kemampuannya, menerima setiap petunjuk yang disertai dalil-dalil
jika menurutnya yang member petunjuk itu benar-benar dipercaya dan mumpuni
untuk itu. Imam Hasan Al-Bana tidak mewajibkan taklid dan bermazhab, serta
tidak mengharamkannya. Ia menghukuminya mubah dan disyari’atkan, namun bukan
untuk setiap orang. Tetapi disyari’atkan bagi setiap muslim yang belum sampai
pada tingkatan kelayakan memandang dalil-dalil hukum syari’at.[21]
E.
Profil Ulama yang
Tidak Mewajibkan Bermazhab
1.
Imam as-Syaukani
Nama aslinya adalah Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w.1250 H).
Asy-Syaukani adalah nisbah kepada Hijrah Syaukan yakni suatu daerah yang
jaraknya dengan Shan’a dapat ditempuh dengan perjalanan kurang dari satu hari,
dan merupakan penisbahan dari ayahnya. Adapun Ash-Shan’ani adalah nisbah kepada
Shan’a, ibukota Yaman. Dilahirkan di Hijrah Syaukan, di tengah hari pada hari
Senin, 18 Dzulqa’dah 1173 H. Ia berasal dari
keluarga yang menganut mazhab Syiah Zaidiyah, ayahnya
adalah seorang hakim. Kemudian beralih kepada mazhab Sunni dan menyerukan untuk
kembali kepada sumber tekstual dari Al-Qur'an dan Hadits.[22]
Beliau adalah salah seorang pengusung ide ijtihad dan pembaharuan
pada abad 13 H. Dalam kitabnya as-Sail al-Jarrar beliau mengatakan
“sekelompok orang ada yang mewajibkan bertaklid kepada imam tertentu”. Pendapat
ini dibenarkan oleh Ilkiya al-Hirasi. Sedangkan kelompok lain mengatakan tidak
wajib. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Burhan dan an-Nawawi.[23]
Imam as-Syaukani selalu berpedoman pada konsepsi ijtihad dengan
bebas, tidak berstandar kecuali dengan Al-Qur’an dan Hadis. Ia juga memiliki
pemikiran atau pendapat independen yang keluar dari pendapat empat atau delapan
mazhab. Seperti dalam kitabnya Nailul Author, berisi konsep fikihnya
yang tersendiri; tidak berafiliasi ke mazhab manapun. Imam Syaukani telah
menjelaskan sikapnya terhadap taklid, metode dalam menghadapinya, kritiknya
terhadap orang-orang yang bertaklid dan terhadap para penyerunya, serta ajakannya
untuk berijtihad. Ia merupakan salah seorang sosok yang sangat tegas dalam menyikapi taklid dan para penyerunya.Ia
menolak dalil-dalil yang menjadi dasar untuk melegitimasi taklid, yaitu firman
Allah :
(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Q.s. An-Nahl:43)
dan
Sabda Nabi Saw,:
هلا سألوا إذا لم يعلموا ؟ فإنما دواء العيّ
السؤال
“Kenapa kamu tidak bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya obatnya
orang bodoh adalah bertanya”
Ia menjelaskan bahwa maksud bertanya disini adalah tidak berarti
bertaklid kepada orang tertentu dengan mengikuti setiap yang ia katakana.
Tetapi, bertanyalah kepada orang yang berilmu yang mudah dijangkau olehnya.
Sebagaimana telah dimanifestasikan orang-orang muslim pada zaman Nabi Saw dan
para sahabatnya.
Dalam hal menolak taklid, asy-Syaukani juga merujuk pada tulisan
Imam Ibnul Qayyim, dan ulama sebelumnya seperti Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm dan
lainnya. Beliau juga tidak sepakat kalau pintu ijtihad telah tertutup. Ia
menganggap pernyataan ini adalah bid’ah yang keji dalam islam. Menurutnya,
keutamaan Allah sangatlah besar dan tidak membatasi keutamaan-Nya dalam satu
periode saja. Pintu ijtihad tetap terbuka lebar bagi setiap orang yang mendapat
karunia kesiapan dan kemampuan untuk itu. Selain itu, ia telah menerapkan
konsep ijtihad mutlaknya, bahkan ijtihad mutlak secara independen, tidak
berafiliasi kepadamazhab-mazhab yang terkenal; tidak dalam masalah ushul maupun
masalah furu’, Seperti dalam kitabnya Irsyad al-Fukhul.[24]
Namun, dalam kaitan agama
atau syari’at ia menolak dominasi akal dan rasionalisme, menurutnya agama bukan
pada pemikiran atau pendapat seorang imam, tapi terletak pada sumber
riwayatnya. Adapaun orang yang awam ia harus bertanya kepada orang yang
mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah, juga bertanya tentang
riwayatnya dalam suatu masalah bukan bertanya tentang pendapat orang yang
ditanya. Beliau adalah ulama yang tidak mewajibkan bermazhab kepada salah satu
ulama mazhab yang empat, namun beliau tidak anti mazhab. Karena, semula beliau
bermazhab zaidiyah.
F.
Relevansi
Mazhab Pada Zaman Kontemporer
Ketika
kita membicarakan mengenai mazhab, maka yang terbesit di pikiran erat kaitannya
dengan ijtihad. Karena, mazhab merupakan produk dari hasil ijtihad para ulama. Untuk
mengetahui relevansi mazhab pada zaman kontemporer maka perlu diketahui
mengenai apa yang disebut dengan ijtihad.
Ijtihad
adalah pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan segala sesuatu yang
sangat sulit. Menurut praktek para sahabat, ijtihad adalah penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan Sunnah
Rasul baik melalui nash yang disebut qiyas maupun melalui maksud dan tujuan
syari’at yang disebut maslahat. Menurut ilmu ushul fiqh ijtihad identik dengan
kata istinbath. Jadi istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum
ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau as-Sunnah.[25]
Adapun
mujtahid dan persyaratannya diantaranya :[26]
-
Seorang mujtahid harus menguasai
bahasa arab
-
Memiliki pengetahuan yang memadai
tentang Kitabuulah al-Karim
-
Mesti memiliki pengetahuan tenang
hadis yang menyeluruh
-
Menguasai ilmu ushul fiqh
-
Menguasai maqashid as-syari’ah, qawaid
fiqh dan ijma.
-
Baligh, dewasa dan sehat akalnya
serta tidak diragukan lagi keimanan dan keislamannya.
Berdasarkan
persyaratan yang dimiliki, para ulama ushul fiqh mengklasifikasikan tingkatan
seorang mujtahid, sebagai berikut :
1.
Mujtahid Mutlaq (mujtahid mustaqil)
yaitu,seorang mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at dari sumber
pokok Al-Qur’an dan Hadis, dan metode penggalian hukumnya ditempuh dilakukan
secara mandiri tidak berpedoman kepada ushul istinbat mujtahid yang lain.
2.
Mujtahid muntashib (mujtahid ghairu
al-mustaqil) , seorang mujtahid yang melakukan istinbath dengan memilih
metodologi istinbat hukum imam mazhab mutlak, sekalipun dalam masalah furu’ ia
berbeda pendapat dengan gurunya
3.
Mujtahid mazhab ialah mujtahid yang
mengikuti kepada imam mazhabnya,baik dalam masalah ushul dan furu’. Kalaupun ia
melakukan ijtihad hanya terbatas dalam lingkup masalah yang diperoleh dari imam mazhab nya.
4.
Mujtahid al-Murajjih,mujtahid yang
melakukan tarjih diantara beberapa pendapat mujtahid sebelumnya dengan tujuan
mengetahui pendapat mana yang didukung oleh dalil dan argument lebih kuat.
Syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya "Alla
Mazhabiyyah , Akhtharu bida'in fil Islam" (Tidak bermazhab adalah
bid'ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang
muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab
mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi
yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar
mazhabnya. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang.
Maka, keberadaan mazhab di anggap sebagai
perantara untuk melaksanakan ibadah yang wajib, Tanpa bermazhab berarti tidak
kosisten terhadap suatu ibadah. Karena, sama saja dengan mencampur adukkan
berbagai macam metode istinbath hukum. Dalam hal kontemporer dan penetapan
hukum islam, sudah menjadi sebuah kebutuhan terutama bagi seorang yang awam
untuk bertaklid kepada mazhab.
Namun, kemudian hal ini ditentang oleh Muhammad
Abu Abbas dalam bukunya "Al mazahibul muta'ashshabah hiyal bid'ah aw
bid'atut ta'ashshubi al Mazhabi" Beliau berpendapat justru pintu
ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu
ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun
yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.[27]
Oleh karena itu, Muhammad Abu Abbas membagi
kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid muttab’i dan muqallid. Bagi
mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari
Al-Qur'an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya
bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka
yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui
metode istinbath (pengambilan hukum) mereka dari Al-Qur'an dan Sunnah maka
kewajiban mereka adalah 'ittiba'. Jelasnya ittiba' -mengutip perkataan Abu
Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan
shah mazhabnya."
Pendapat yang terakhir inilah yang wasath
(pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka
yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup
pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan
dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang
tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang
perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Berarti fenomena
bermadzhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang
per-orang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara
mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula.
Pada zaman kontemporer, terdapat dua hal yang
perlu dicermati oleh setiap muslim dalam bermazhab:
Pertama:
menghindarkan Fanatisme (ta'ashshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya
memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap
orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid.
Karenanya Rasul bersabda : "Barang siapa berijtihad dan ia benar maka
baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya
satu pahala."
Kedua: menghindarkan Tatabbu'
rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai
dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia
menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya.
G.
Apakah Pintu
Ijtihad Sudah Tertutup?
Jika
kita berbicara dengan logika historis, kita akan melihat ijtihad tidak pernah
putus pada abad kapanpun. Allah telah memberi keutamaan terhadap umat ini bahwa
pada setiap abad dari seluruh masa tidak akan kosong dari seorang mujtahid atau
lebih. Ijtihad memiliki beberapa tingkatan, dan mungkin memulainya dari
tingkatan yang terendah, kemudian ke tingkatan tengah dan tingkatan diatas
keduanya sampai ketingkatan mujtahid mutlak. Karena itu, tidak mustahil jika
pada zaman kita sekarang ini akan muncul mujtahid mutlak yang berijtihad dalam
masalah fikih baik secara menyeluruh dan tidak tergantung dengan mazhab yang
ada. Ia justru mempunyai dasar khusus yang mungkin hasil adopsi, seleksi,
koreksi, dan pelusuran dari sejumlah dasar-dasar mazhab yang ada.
Namun,
sebenarnya terdapat beberapa hakikat yang belum terungkap. Karena banyak
diantara para ulama besar yang telah mencapai derajat mujtahid, tidak
mengumumkan secara terang-terangan kepada khalayak umat perihal kemampuan
dirinya. Banyak para mujtahid berafiliasi kepada mazhab-mazhab yang ada,
meskipun ijtihad mereka bersifat mutlak namun masih dalam lingkup dan prinsip
serta manhaj mazhab mujtahid terdahulu.
Adapun
menurut penulis, apakah ada kemungkinan terdapat mazhab baru di zaman sekarang
ini ? menurut penulis, hal itu bisa
saja terjadi mengingat menurut
jumhur pintu ijtihad masih terbuka lebar, namun yang perlu digaris bawahi,
apakah mujtahid yang ada pada zaman sekarang tidak terpengaruh sama sekali
dengan metode istinbath hukum yang dilakukan oleh imam mazhab terdahulu
sehingga dapat dikatakan mujtahid mutlak ? inilah yang perlu diteliti secara
mendalam. Bahkan imam Nawawi pernah ditanya mengapa tidak
mendirikan mazhab sendiri sementara ilmu dan karyanya sudah lebih dari cukup.
Sang imam hanya tersenyum dan berkata “cukuplah saya berijtihad dalam hukum
imam syafi’i”.[28]
Dari kisah diatas, dapat menjadi cerminan bagi
kita di era kontemporer bahwasanya berijtihad tidak serta merta bertolak dengan
taklid. Ada ruang dimana seorang dapat menjadi sangat kreatif tanpa harus
mengklaim membangun satu kompleks gagasan dari ruang hampa. Imam Nawawi saja
tidak perlu merasabesar kepala sehingga harus disebut dengan mujtahid
mutlak. Imam Nawawi sangat menyadari bahwa buah pikirannya, sadar atau
tidak sangat banyak diinspirasi oleh para imam mujtahid terdahulu. Selain itu,
jika seorang mujtahid seperti beliau dapat mengakui mazhab maka seorang mufti
bukanlah orang yang harus melepaskan diri dari tradisi islam.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Mazhab, merupakan kumpulan metode dan hasil pandangan
ulama pada hal-hal yang menjadi tuntunan dalam menjalankan ibadah umat Muslim
tetapi dengan berbagai cara atau metodologi yang berbeda maka hasil pendapat
setiap alim berbeda satu dengan lainnya. Adpun mazhab yang berkembang saat ini
ada 4 mazhab besar, mazhab tersebut telah melewati perjalanan yang cukup
panjang sehingga masih eksis sampai saat ini. Keeksisan mazhab-mazhab ini tidak
lain dipengaruhi oleh adanya konsistensi para pengikutnya untuk melaksanakan
apa yang difatwakan oleh imam mazhab mereka. Bagi muslim yang sudah mengerti
tentang Islam (mujtahid) tidak perlu untuk melakukan pemaksaan mengikuti salah
satu mazhab, namun bagi muslim pemula demi kemudahan dan kemaslahatan di
kemudian hari, maka diperbolehkan baginya untuk belajar satu mazhab dari
beberapa mazhab yang ada dengan catatan tanpa mengenyampingkan adanya mazhab
lain yang mungkin pendapatnya berseberangan dengan mazhab yang ia pelajari.
Sehingga ketika seorang muslim pemula mau memahami perbedaan yang ada, tidaklah
akan timbul fanatisme berlebihan yang bersifat destruktif.
Menurut penulis, Mazhab adalah sebuah fasilitas
bagi seorang muslim yang mempermudah dalam melaksanakan ibadah bagi para
pemula. Namun bagi mereka yang telah paham agama, mazhab merupakan sarana untuk
diteliti guna kepentingan amaliyah yang ilmiah dengan bersandar pada dalil yang
paling kuat. Hal tersebut tidaklah menjadi masalah yang perlu untuk
diperdebatkan terlalu panjang karena perdebatan dalam hal ini hanya memecah
belah umat Islam, karena ketika kita membandingkan pendapat satu dengan yang
lainnya maka titik temu diantara hanya dalam beberapa hal, selainnya banyak
pertentangan yang ditemui kemudian.
[1] M.Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab Fiqh, PT.Raja Grafindo Persada, 2000), cet.ke-2,h.1.
[2] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos wacana
Ilmu, 2003), h.71.
[3] M. Bahri
Ghazali, Djumdris, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1992), cet.ke-1, h.7.
[4] M.Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab Fiqh, h.1.
[5] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos wacana
Ilmu, 2003), h.72.
[6] M.Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab Fiqh,h.2.
[7] H.M.Atho
Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 2000),
Cet.ke-1, h.74.
[8] Ahmad Hasan, Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h.14.
[9] Muslim
Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, (Erlangga: Jakarta, 1991), cet.ke-2,
h.47.
[10] Ibnu ‘Abdul Bar dalam kitab Ushulu
al-Ahkam (6/149), dikutip
dalam; Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Sifat
Shalat Nabi, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2000), h.67.
[11] KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Qur’an Dan
As-Sunnah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h. 398.
[12] Abu Abdillah
Badruddin Muhammad bin Abdullah bin Bahadir az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhiith
fiUshul al-Fiqh, (Daar al-Kutbi, 1414H/1994M), Cet.ke-1,j.6,h.306.
[13] Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani al-Yamani, Irsyad al-Fuhul,
(Mesir: Daar al-Kitab al-‘Araby, 1419H/1999M), j.2,h.252.
[14] Yusuf
al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, terjemahan
dari kitab Kayfa Nata’amal Ma’aat-Turast wa al-Mazhab wa al-Iktilaf,
oleh Abdul Hayyi al Kattani, dkk., (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana 2003),
Cet.ke-1, h.115-116.
[15] Muhammad Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1978 M), Cet. ke-1, h.15.
[18] Yusuf
al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.86.
[19] Yusuf
al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.87-88.
[20] Yusuf
al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, , h.90.
[21]Yusuf
al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.99.
[22] Abu Sahl
Muhammad Ibn Abdurrahman al-Maghrawi, Maushu’ah Mawaqif as-Salaf fi
al-Aqidah wa Al-Manhaj wa at-Tarbiyah, (Mesir : Maktabah al-Islamiyah li
an-Nasyr wa at-Tauzi’), cet.ke-1, jld.9, h.96.
[23] Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani al-Yamani, as-Sail al-Jaraar al-Mutadaffaq ‘ala
Hadaiq al-Azhar, (Daar Ibn Hazm), Cet.ke-1, j.1, h.13.
[24] Muhammad bin
Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani al-Yamani, Irsyad al-Fuhul,254.
[25] Ahmad Azhar
Basyir, Munawwir Syadzali, dkk, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung : Mizan,
1992), Cet.ke-2, h.24.
[26] Ahmad Mukri
Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010),
Cet.ke-2, h. 25-33.
[27] Yusuf
al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.150.
[28] M.Quraish
Shihab, Islam Mazhab Indonesia, (Bandung: Teraju, 2003), Cet.ke-2, h.15.
Komentar
Posting Komentar