PERLUKAH BERMAZHAB ?



oleh: 
Siti Sholihatudz Dzikriyah 


A.     Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab berarti jalan atau tempat yang dilalui.[1] mazhab berasal dari shigat masdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fiil madhi dzhaba (ذهب( yang berarti pergi. Bisa juga berarti al-ra’yu (الرأي) yang artinya “pendapat”.[2] Menurut M. Bahri Ghazali dalam bukunya perbandingan mazhab, mazhab diartikan sebagai tempat berjalan. Dalam istilah islam berarti pendapat,paham atau aliran seseorang alim besar dalam islam yang disebut imam.[3]
Menurut istilah para fakih, mazhab memiliki pengertian yaitu pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah berisi kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam mujtahid.[4]
 Selain itu, terdapat beberapa rumusan lain :
1.      Menurut Said Ramadhany Al-Buthy, mazhab adalah jalan fikiran (paham / pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari Al-Qur’an dan Hadis
2.      Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadis.[5]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah,  yaitu hasil ijtihad seorang imam (mujtahid mutlak mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian, pengertian bermazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.[6] Maka, Ketika seseorang berpendapat dengan mengikuti pendapat orang lain yang dianggapnya baik, maka dia sedang bermazhab.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” Maka, Perlu diketahui bahwa kebanyakan dalil Quran dan Sunnah seringkali menyisakan ruang yang memungkinkan orang berbeda pendapat dalam menyimpulkan konklusi hukumnya. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahkan hal itu bukan hanya dialami oleh kita yang sama saja, tetapi juga terjadi di kalangan para sahabat Nabi.[7]


B.     Timbulnya Mazhab Fiqh
Setelah wafatnya Rasulullah Saw. Sahabat tersebar diberbagai pelosok dunia islam. Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan intelektual. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang didaerahnya untuk dimintai  keputusan yang berkaitan dengan berbagai persoalan. Mereka memberi keputusan berdasarkan apa yang mereka pernah pelajari dari Rasulullah Saw, atau berdasarkan apa yang mereka fahami dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Mereka juga mendasarkan pada pendapat sendiri dengan melihat syari’ah (illat) yang menuntun Rasulullah untuk mengambil keputusan.[8]
Jika ditinjau dari fragmentasi sejarah, bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Munculnya mazhab-mazhab fiqh lahir dari perkembangan sejarah sendiri melalui berbagi macam ijtihad yang dikeluarkan ulama, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana dituduhkan oleh orientalis. Hal ini terlihat dari adanya pemikiran fiqh Sejak masa sahabat, tabiin dan ulama-ulama setelah mereka, telah banyak mazhab yang timbul sehubungan dengan meluasnya daerah islam, dan bermunculannya masalah baru sehingga diperlukan adanya ijtihad. Dikalangan syi’ah, dikenal dengan mazhab Zaidy, Imamy (Jakfari), Ismaili, Duruzy dan lain-lain. Dikalangan khawarij dan mktazilah dikenal pula mazhab Abadzy dan lain-lain. Sedangkan dikalangan Ahlus Sunnah diketahui munculnya mazhab-mazhab berikut : [9]
1.      Mazhab Imam Abu Sa’id Alhasan bin Yasaar Albashry (w.110H)
2.      Mazhab Abu Hanifah Annu’maan bin Tsabit bin Zuuthy, (w.150H)
3.      Mazhab Auzaa’iy Abu Amru Abdullah bin Amru bin Muhammad (w.157H)
4.      Mazhab Imam Soufyan bin Sa’id bin Masruq Ats Tsaury (w.160H)
5.      Mazhab Imam Al-Laits bin Sa’ad (w.175H)
6.      Mazhab Imam Malik bin Anas al-Ashbuhy (w.179H)
7.      Mazhab Imam soufyan bin Uyainah (w.198H)
8.      Mazhab Imam Muhammad bin Idris Asy-Syaafi’iy (w.204H)

C.     Hukum Berpegang Pada Mazhab Tertentu
Al-Imam Malik mengatakan: “Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.” Beliau juga berkata: “Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi (yang wajib diterima).”[10]
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” Beliau juga berkata: “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits, tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.”[11]
Dari pendapat para ulama di atas,  dapat disimpulkan bahwa ulama mazhab besar tidak mau apa yang mereka ajarkan adalah sesuatu yang paling benar dari yang lainnya. Bentuk penghormatan atas pendapat orang lain, toleransi atas apa yang dilakukan orang lain telah membawa mereka dalam keharmonisan yang akhirnya harus dirusak oleh para pengikut mereka, orang – orang yang mengaku-aku bahwa apa yang diajarkan oleh alim mazhab mereka adalah yang paling benar, sedangkan alim mazhab tidak pernah ditemukan kewajiban mengikuti mereka. Kemudian mengapa harus ada statement yang muncul untuk adanya kewajiban bermazhab pada mazhab tertentu, apa sebenarnya melatarbelakangi munculnya kewajiban tersebut?.
Imam az-Zarkasyi dalam kitabnya Bahru al-Muhiith menyatakan apakah orang awam wajib bertaqlid dengan berpegang kepada mazhab tertentu dalam setiap permasalahan ? menurutnya terdapat perbedaan pendapat.[12]
Ilkia al-Hirasi menyatakan bahwa orang awam wajib berpegang dengan mazhab tertentu. Sedangkan menurut ibnu burhan tidak wajib. Karena,para sahabat r.a tidak mengingkari sikap golongan awam yang bertaqlid kepada beberapa diantara mereka tanpa adanya pengikatan tertentu. Sebagian pengikut mazhab Hanbali mengatakan,ini adalah mazhab Ahmad. Sedangkan ia pernah berkata kepada para pengikutnya “jangan kamu bawa manusia pada mazhabmu, Karena niscaya mereka akan keluar dari mazhab mu. Biarkanlah mereka bebas memilih mazhab-mazhab umat yang ada.[13]
Pada zaman dahulu para salaf bertaklid kepada siapa yang mereka sukai sebelum munculnya empat mazhab. Namun Ibnu al-Munir bersikap moderat dalam permasalahan ini bahwa dalil yang menunjukkan realita orang-orang mulai berpegang dengan mazhab-mazhab tertentu adalah terjadi setelah mazhab empat muncul,bukan masa sebelumnya. Adapun setelah mazhab dikenal,kitab-kitab berkenaan dengannya dicetak dan dipopulerkan serta dapat mengetahui pendapat yang fleksibel dan yang keras dalam menyikapi setiap kejadian atau permasalahan,maka orang yang meminta fatwa tersebut tidak berpindah mazhab ke mazhab lain kecuali untuk mendapat pemecahan dan kemudahan dari permasalahannya.[14]
Orang-orang yang mewajibkan mengikuti mazhab tertentu adalah mereka yang berangkat dari satu kaidah ushul Fiqh “ Ma la Yatimmu al-Wajib illa bihi fahuwa wajibun” yang artinya “apa-apa yg mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, maka wajib hukumnya”. Yakni dalam pemahaman bahwa seorang muslim apabila mengerjakan amalan ibadah wajib maka hukum untuk mengikuti salah satu mazhab juga wajib karena mazhab di anggap sebagai perantara untuk melaksanakan ibadah yang wajib tersebut. Pendapat ini berangkat dari pemikiran bahwa imam mazhab telah memiliki metodologi tersendiri dalam membangun mazhab, dan semua pendapatnya itu berangkat dari metodologi yang telah disusunnya, bukan sekedar pendapat yang bermunculan secara tiba-tiba. Dengan demikian maka pendapat-pendapat yang bersumber dari satu mazhab tertentu lahir dari sebuah proses yang teratur dan memiliki pola istinbath yang konsisten. Sehingga bila berpindah-pindah mazhab akan mengakibatkan ketidak-konsistenan dalam metodologi. Menurut pendukung pendapat ini, seseorang harus konsisten dalam metodologi mazhab.[15]
Ada juga pendapat tentang kewajiban mengikuti salah satu mazhab untuk kalangan khas yaitu yang tidak berkemampuan dari segi akalnya, seperti bodoh, kurang siuman (tetapi tidak gila), kekacatan dari kesempurnaan akal dan lain-lain. Termasuk juga seseorang yang jauh dari sumber ilmu dan masyarakat Islam seperti orang asli di pendalaman atau siapa saja yang baru memeluk Islam. Juga termasuk kanak-kanak yang baru belajar atau orang yang baru bertaubat. Bagi mereka sewajibnya mengikuti seseorang karena tidak ada jalan lain bagi mereka untuk beribadah yang selamat dari kesesatan atau meninggalkan agama sama sekali.[16]
Adapun pendapat yang tidak mewajibkan bermazhab berlandasan yang jelas dari pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama mazhab yang secara eksplisit menyebut bahwa pendapat mereka bisa saja berubah jika ada dalil yang lebih kuat dari pendapat mereka. Sebagai penekanan mereka menegaskan bahwa Allah dan Rasulullah tidak pernah mewajibkan umat muslim untuk mengikuti salah satu mazhab. Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga seperti halnya imam syafi’i. Maka, seseorang boleh mengikuti pendapat yang berbeda dari beragam mazhab. Karena tidak ada perintah untuk berpegang tegus kepada satu orang mujtahid saja. Ketika seseorang bermazhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah atau pun Al-Hanabilah, maka pada suatu masalah tertentu boleh saja dia tidak sepakat dengan pendapat mazhabnya. Hal seperti itu lazim terjadi dan sama sekali tidak ada larangan. Allah sendiri tidak pernah mewajibkan seseorang untuk betaqlid pada mujtahid tertentu. Kalaupun ada perintah, maka Allah memerintahkan seseorang untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum.[17]
D.     Pandangan Mengenai Hukum Taklid Kepada  Mazhab 
Ada tiga pandangan mengenai hukum bermazhab :[18]
1.      Wajib Bermazhab
Pendapat ini adalah pendapat orang-orang yang mewajibkan taklid pada setiap orang, baik itu golongan orang awam maupun golongan para ulama. begitu juga mereka yang mengharamkan ijtihad bagi para ulama kontemporer, baik ijtihad secara menyeluruh maupun sebagian saja. Bahkan, mereka menyatakan bahwa konsep ijtihad sejak beberapa abad silam telah dilaraang dan telah terhenti secara realitas, serta pintu ijtihad telah tertutup sejakabad keempat atau abad ketiga, atau bahkan sebelum itu. Pendapat ini berkeyakinan bahwa bertaklid kepada salah satu mazhab fiqh hukumnya wajib diyaani wajib dari aspek ketaatan beragama. Mereka tidak membolehkan memilih dan memilah perkataan – perkataan serta pendapat yang ada untuk diseleksi sehingga mendapatkan pendapat yang paling benar. Hal ini seperti dikatakan oleh syaikh ash-Shawi al-Maliki, penulis buku al-Haasiyah ‘komentar’ terhadap kitab asy-Syarh ash-Shagir karya Syaikh Dardir dalam bidang fiqh, dan al-Hasyiyah terhadap kitab Tafsir al-Jalalain,beliau berkata “ tidak diperkenankan taklid kepada selain empat mazhab, walaupun sesuai dengan perkataan para sahabat, tabiin, hadis shahih, maupun ayat Al-Qur’an. Keluar dari empat mazhab adalah sesat dan menyesatkan,bahkan dapat menghantarkan kepada kekafiran. Karena, mengambil zahir ayat Al-Qur’an dan as-sunnah termasuk unsur kekafiran. Barangkali maksudnya adalah mereka yang mengambil zhahir ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, dan hadis-hadis tentang sifat Allah dalam masalah akidah, yang tidak ditakwilkan, Seperti mazhab salaf. Ulama yang hidup semasa dengan asy-Syaukani ini (Syaikh ash-Shawi) dinilai terlalu berlebihan dalam mengeluarkan pendapatnya karena melarang bertaklid diluar empat mazhab. Pendapat yang mewajibkan taklid (bermazhab) ini termasuk pendapat populer dan tersebar disekolah-sekolah dan universitas agama seperti di libia, Tunisia, aljazair, Maroko, Muritania, Universitas Qoruwiyin, dan lain-lain pada kurun abad terakhir. Sehingga, di institusi pendidikan itulah, mereka mendoktrinisasai para siswanya dan mengatakan pada mereka “Barangsiapa bertaklid kepada seorang alim, ia akan bertemu Allah dengan selamat. [19]
Hal ini dilakukan agar umat islam dalam akidah mengikuti mazhab Asy-‘ari, dalam fikih mengikuti mazhab maliki, dalam Akhlak mengikuti mazhab Al-Junaidi. Mengenai hal ini Ibnu Asyir mengatakan dalam bait-bait syairnya “Akidah Asy’ari fikih Maliki, juga tarekat al-Junaid untuk Akhlak”.Namun, beberapa ulama besar seperti Ibnu Abdul Barr, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, As-Shan’ani, as-Syaukani, ad-Dahlawi dan lainnya menolak pendapat ini.[20]
2.      Mengharamkan Taklid Mazhab dan Mewajibkan Ijtihad
Pendapat ini adalah kebalikan dari pendapat yang pertama. Pendapat ini mengharuskan setiap muslim untuk mengambil hukum-hukum syari’atdari Al-Kitab dan as-Sunnah. Juga menolak orang-orang yang bertaklid kepada mazhab-mazhab tertentu, bahkan menghujat mereka dengan keras, sebagian mereka memfitnah mazhab - mazhab yang ada. Lebih dari itu, terkadang merka bersikap melampaui batas terhadap teman-temannya sendiri. Diantaranya adalah ulama ahli fiqh yang bermazhab Dzhahiri seperti Ibnu Hazm penulis Al-Hikam fi Ushul al-Ahkam, al-Muhalla, dan al-Fashu fi al-Milal wa an-Nihal. Pendapat ini didukung oleh kebanyakan ulama masa sekarang, seperti asy-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhuul, as-Sail al-Jaraar, dan risalah al-Qaul al-Mufid fi Adillah al-Ijtihas wa  at-Taqlid. Dalam bukunya beliau menolak taklid dan menghujat pelakunya dengan keras. Pada zaman sekarang, mereka yang memegang pendapat ini  adalah golongan ahli hadis seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. 
3.      Diperkenankan Taklid kepada Mazhab Bagi Yang Belum Layak Berijtihad
Pendapat ketiga dalam permasalahan ini adalah pendapat penengah dari kedua penadpat  diatas. Mereka tidak mewajibkan bermazhab secara mutlak sebagaimana pendaapat pertama, dan tidak mengharamkannya secara mutlak. Tetapi, membolehkanya pada orang-orang tertentu dan mengharamkannya kepada yang lain. Pendapat inilah yang dipegang oleh Hasan Al-Bana. Menurutnya setiap muslim yang belum mampu menganalisa dalil-dalil hukum syariat islam, hendaknya mengikuti (ittiba’) salah seorang imam dari imam-imam kaum muslimin. Alangkah baiknya ia berusaha mengetahui dalil-dalilnya sesuai kadar kemampuannya, menerima setiap petunjuk yang disertai dalil-dalil jika menurutnya yang member petunjuk itu benar-benar dipercaya dan mumpuni untuk itu. Imam Hasan Al-Bana tidak mewajibkan taklid dan bermazhab, serta tidak mengharamkannya. Ia menghukuminya mubah dan disyari’atkan, namun bukan untuk setiap orang. Tetapi disyari’atkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan kelayakan memandang dalil-dalil hukum syari’at.[21]
E.     Profil Ulama yang Tidak Mewajibkan Bermazhab
1.      Imam as-Syaukani
Nama aslinya adalah Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w.1250 H). Asy-Syaukani adalah nisbah kepada Hijrah Syaukan yakni suatu daerah yang jaraknya dengan Shan’a dapat ditempuh dengan perjalanan kurang dari satu hari, dan merupakan penisbahan dari ayahnya. Adapun Ash-Shan’ani adalah nisbah kepada Shan’a, ibukota Yaman. Dilahirkan di Hijrah Syaukan, di tengah hari pada hari Senin, 18 Dzulqa’dah 1173 H. Ia berasal dari keluarga yang menganut mazhab Syiah Zaidiyah, ayahnya adalah seorang hakim. Kemudian beralih kepada mazhab Sunni dan menyerukan untuk kembali kepada sumber tekstual dari Al-Qur'an dan Hadits.[22]
Beliau adalah salah seorang pengusung ide ijtihad dan pembaharuan pada abad 13 H. Dalam kitabnya as-Sail al-Jarrar beliau mengatakan “sekelompok orang ada yang mewajibkan bertaklid kepada imam tertentu”. Pendapat ini dibenarkan oleh Ilkiya al-Hirasi. Sedangkan kelompok lain mengatakan tidak wajib. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Burhan dan an-Nawawi.[23]
Imam as-Syaukani selalu berpedoman pada konsepsi ijtihad dengan bebas, tidak berstandar kecuali dengan Al-Qur’an dan Hadis. Ia juga memiliki pemikiran atau pendapat independen yang keluar dari pendapat empat atau delapan mazhab. Seperti dalam kitabnya Nailul Author, berisi konsep fikihnya yang tersendiri; tidak berafiliasi ke mazhab manapun. Imam Syaukani telah menjelaskan sikapnya terhadap taklid, metode dalam menghadapinya, kritiknya terhadap orang-orang yang bertaklid dan terhadap para penyerunya, serta ajakannya untuk berijtihad. Ia merupakan salah seorang sosok yang sangat tegas dalam  menyikapi taklid dan para penyerunya.Ia menolak dalil-dalil yang menjadi dasar untuk melegitimasi taklid, yaitu firman Allah :
 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Q.s. An-Nahl:43)
dan Sabda Nabi Saw,:
هلا سألوا إذا لم يعلموا ؟ فإنما دواء العيّ السؤال
“Kenapa kamu tidak bertanya jika tidak mengetahui? Sesungguhnya obatnya orang bodoh adalah bertanya”
Ia menjelaskan bahwa maksud bertanya disini adalah tidak berarti bertaklid kepada orang tertentu dengan mengikuti setiap yang ia katakana. Tetapi, bertanyalah kepada orang yang berilmu yang mudah dijangkau olehnya. Sebagaimana telah dimanifestasikan orang-orang muslim pada zaman Nabi Saw dan para sahabatnya.
Dalam hal menolak taklid, asy-Syaukani juga merujuk pada tulisan Imam Ibnul Qayyim, dan ulama sebelumnya seperti Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm dan lainnya. Beliau juga tidak sepakat kalau pintu ijtihad telah tertutup. Ia menganggap pernyataan ini adalah bid’ah yang keji dalam islam. Menurutnya, keutamaan Allah sangatlah besar dan tidak membatasi keutamaan-Nya dalam satu periode saja. Pintu ijtihad tetap terbuka lebar bagi setiap orang yang mendapat karunia kesiapan dan kemampuan untuk itu. Selain itu, ia telah menerapkan konsep ijtihad mutlaknya, bahkan ijtihad mutlak secara independen, tidak berafiliasi kepadamazhab-mazhab yang terkenal; tidak dalam masalah ushul maupun masalah furu’, Seperti dalam kitabnya Irsyad al-Fukhul.[24]
 Namun, dalam kaitan agama atau syari’at ia menolak dominasi akal dan rasionalisme, menurutnya agama bukan pada pemikiran atau pendapat seorang imam, tapi terletak pada sumber riwayatnya. Adapaun orang yang awam ia harus bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah, juga bertanya tentang riwayatnya dalam suatu masalah bukan bertanya tentang pendapat orang yang ditanya. Beliau adalah ulama yang tidak mewajibkan bermazhab kepada salah satu ulama mazhab yang empat, namun beliau tidak anti mazhab. Karena, semula beliau bermazhab zaidiyah.

F.      Relevansi Mazhab Pada Zaman Kontemporer
Ketika kita membicarakan mengenai mazhab, maka yang terbesit di pikiran erat kaitannya dengan ijtihad. Karena, mazhab merupakan produk dari hasil ijtihad para ulama. Untuk mengetahui relevansi mazhab pada zaman kontemporer maka perlu diketahui mengenai apa yang disebut dengan ijtihad. 
Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan segala sesuatu yang sangat sulit. Menurut praktek para sahabat, ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan Sunnah Rasul baik melalui nash yang disebut qiyas maupun melalui maksud dan tujuan syari’at yang disebut maslahat. Menurut ilmu ushul fiqh ijtihad identik dengan kata istinbath. Jadi istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau as-Sunnah.[25]
Adapun mujtahid dan persyaratannya diantaranya :[26]
-          Seorang mujtahid harus menguasai bahasa arab
-          Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Kitabuulah al-Karim
-          Mesti memiliki pengetahuan tenang hadis yang menyeluruh
-          Menguasai ilmu ushul fiqh
-          Menguasai maqashid as-syari’ah, qawaid fiqh dan ijma.
-          Baligh, dewasa dan sehat akalnya serta tidak diragukan lagi keimanan dan keislamannya.
Berdasarkan persyaratan yang dimiliki, para ulama ushul fiqh mengklasifikasikan tingkatan seorang mujtahid, sebagai berikut :
1.      Mujtahid Mutlaq (mujtahid mustaqil) yaitu,seorang mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at dari sumber pokok Al-Qur’an dan Hadis, dan metode penggalian hukumnya ditempuh dilakukan secara mandiri tidak berpedoman kepada ushul istinbat mujtahid yang lain. 
2.      Mujtahid muntashib (mujtahid ghairu al-mustaqil) , seorang mujtahid yang melakukan istinbath dengan memilih metodologi istinbat hukum imam mazhab mutlak, sekalipun dalam masalah furu’ ia berbeda pendapat dengan gurunya
3.      Mujtahid mazhab ialah mujtahid yang mengikuti kepada imam mazhabnya,baik dalam masalah ushul dan furu’. Kalaupun ia melakukan ijtihad hanya terbatas dalam lingkup masalah  yang diperoleh dari imam mazhab nya.
4.      Mujtahid al-Murajjih,mujtahid yang melakukan tarjih diantara beberapa pendapat mujtahid sebelumnya dengan tujuan mengetahui pendapat mana yang didukung oleh dalil dan argument lebih kuat. 
Syekh Ramadlan Al Buthi dalam bukunya "Alla Mazhabiyyah , Akhtharu bida'in fil Islam" (Tidak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab mazhab-mazhab itu sudah teruji kevalidannya. Namun kendati begitu tidak boleh bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di luar mazhabnya. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk masa sekarang.
Maka, keberadaan mazhab di anggap sebagai perantara untuk melaksanakan ibadah yang wajib, Tanpa bermazhab berarti tidak kosisten terhadap suatu ibadah. Karena, sama saja dengan mencampur adukkan berbagai macam metode istinbath hukum. Dalam hal kontemporer dan penetapan hukum islam, sudah menjadi sebuah kebutuhan terutama bagi seorang yang awam untuk bertaklid kepada mazhab.
Namun, kemudian hal ini ditentang oleh Muhammad Abu Abbas dalam bukunya "Al mazahibul muta'ashshabah hiyal bid'ah aw bid'atut ta'ashshubi al Mazhabi" Beliau berpendapat justru pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karenanya tidak ada seorangpun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.[27] 
Oleh karena itu, Muhammad Abu Abbas membagi kaum muslimin pada tiga golongan, yaitu: Mujtahid muttab’i dan muqallid. Bagi mereka yang telah mampu untuk mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Al-Qur'an dan Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya bertaklid dalam masalah tersebut (golongan mujtahid). Sedangkan bagi mereka yang hanya mampu untuk mengkaji pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istinbath (pengambilan hukum) mereka dari Al-Qur'an dan Sunnah maka kewajiban mereka adalah 'ittiba'. Jelasnya ittiba' -mengutip perkataan Abu Syamah- adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan shah mazhabnya."  
Pendapat yang terakhir inilah yang wasath (pertengahan). Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang benar-benar awam terhadap agama. Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Berarti fenomena bermadzhab adalah sesuatu yang perlu dilihat berdasarkan kondisi orang per-orang, yang tentunya tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa diharuskan secara mutlak dan tidak bisa dilarang secara mutlak pula.
Pada zaman kontemporer, terdapat dua hal yang perlu dicermati oleh setiap muslim dalam bermazhab:
Pertama: menghindarkan Fanatisme (ta'ashshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang kecuali nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang mujtahid. Karenanya Rasul bersabda : "Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala."
Kedua: menghindarkan Tatabbu' rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa nafsunya.
G.    Apakah Pintu Ijtihad  Sudah Tertutup?
Jika kita berbicara dengan logika historis, kita akan melihat ijtihad tidak pernah putus pada abad kapanpun. Allah telah memberi keutamaan terhadap umat ini bahwa pada setiap abad dari seluruh masa tidak akan kosong dari seorang mujtahid atau lebih. Ijtihad memiliki beberapa tingkatan, dan mungkin memulainya dari tingkatan yang terendah, kemudian ke tingkatan tengah dan tingkatan diatas keduanya sampai ketingkatan mujtahid mutlak. Karena itu, tidak mustahil jika pada zaman kita sekarang ini akan muncul mujtahid mutlak yang berijtihad dalam masalah fikih baik secara menyeluruh dan tidak tergantung dengan mazhab yang ada. Ia justru mempunyai dasar khusus yang mungkin hasil adopsi, seleksi, koreksi, dan pelusuran dari sejumlah dasar-dasar mazhab yang ada.
Namun, sebenarnya terdapat beberapa hakikat yang belum terungkap. Karena banyak diantara para ulama besar yang telah mencapai derajat mujtahid, tidak mengumumkan secara terang-terangan kepada khalayak umat perihal kemampuan dirinya. Banyak para mujtahid berafiliasi kepada mazhab-mazhab yang ada, meskipun ijtihad mereka bersifat mutlak namun masih dalam lingkup dan prinsip serta manhaj mazhab mujtahid terdahulu.
Adapun menurut penulis, apakah ada kemungkinan terdapat mazhab baru di zaman sekarang ini ? menurut penulis, hal itu bisa  saja  terjadi mengingat menurut jumhur pintu ijtihad masih terbuka lebar, namun yang perlu digaris bawahi, apakah mujtahid yang ada pada zaman sekarang tidak terpengaruh sama sekali dengan metode istinbath hukum yang dilakukan oleh imam mazhab terdahulu sehingga dapat dikatakan mujtahid mutlak ? inilah yang perlu diteliti secara mendalam. Bahkan imam Nawawi pernah ditanya mengapa tidak mendirikan mazhab sendiri sementara ilmu dan karyanya sudah lebih dari cukup. Sang imam hanya tersenyum dan berkata “cukuplah saya berijtihad dalam hukum imam syafi’i”.[28]
Dari kisah diatas, dapat menjadi cerminan bagi kita di era kontemporer bahwasanya berijtihad tidak serta merta bertolak dengan taklid. Ada ruang dimana seorang dapat menjadi sangat kreatif tanpa harus mengklaim membangun satu kompleks gagasan dari ruang hampa. Imam Nawawi saja tidak perlu merasabesar kepala sehingga harus disebut dengan mujtahid mutlak. Imam Nawawi sangat menyadari bahwa buah pikirannya, sadar atau tidak sangat banyak diinspirasi oleh para imam mujtahid terdahulu. Selain itu, jika seorang mujtahid seperti beliau dapat mengakui mazhab maka seorang mufti bukanlah orang yang harus melepaskan diri dari tradisi islam.

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Mazhab, merupakan kumpulan metode dan hasil pandangan ulama pada hal-hal yang menjadi tuntunan dalam menjalankan ibadah umat Muslim tetapi dengan berbagai cara atau metodologi yang berbeda maka hasil pendapat setiap alim berbeda satu dengan lainnya. Adpun mazhab yang berkembang saat ini ada 4 mazhab besar, mazhab tersebut telah melewati perjalanan yang cukup panjang sehingga masih eksis sampai saat ini. Keeksisan mazhab-mazhab ini tidak lain dipengaruhi oleh adanya konsistensi para pengikutnya untuk melaksanakan apa yang difatwakan oleh imam mazhab mereka. Bagi muslim yang sudah mengerti tentang Islam (mujtahid) tidak perlu untuk melakukan pemaksaan mengikuti salah satu mazhab, namun bagi muslim pemula demi kemudahan dan kemaslahatan di kemudian hari, maka diperbolehkan baginya untuk belajar satu mazhab dari beberapa mazhab yang ada dengan catatan tanpa mengenyampingkan adanya mazhab lain yang mungkin pendapatnya berseberangan dengan mazhab yang ia pelajari. Sehingga ketika seorang muslim pemula mau memahami perbedaan yang ada, tidaklah akan timbul fanatisme berlebihan yang bersifat destruktif.
Menurut penulis, Mazhab adalah sebuah fasilitas bagi seorang muslim yang mempermudah dalam melaksanakan ibadah bagi para pemula. Namun bagi mereka yang telah paham agama, mazhab merupakan sarana untuk diteliti guna kepentingan amaliyah yang ilmiah dengan bersandar pada dalil yang paling kuat. Hal tersebut tidaklah menjadi masalah yang perlu untuk diperdebatkan terlalu panjang karena perdebatan dalam hal ini hanya memecah belah umat Islam, karena ketika kita membandingkan pendapat satu dengan yang lainnya maka titik temu diantara hanya dalam beberapa hal, selainnya banyak pertentangan yang ditemui kemudian.


                                                           





[1] M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, PT.Raja Grafindo Persada, 2000), cet.ke-2,h.1.
[2] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos wacana Ilmu, 2003), h.71.
[3] M. Bahri Ghazali, Djumdris, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), cet.ke-1, h.7.
[4] M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, h.1.
[5] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos wacana Ilmu, 2003), h.72.
[6] M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh,h.2.
[7] H.M.Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 2000), Cet.ke-1, h.74.
[8] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h.14.
[9] Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, (Erlangga: Jakarta, 1991), cet.ke-2, h.47.
[10] Ibnu ‘Abdul Bar dalam kitab Ushulu al-Ahkam (6/149), dikutip dalam; Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Sifat Shalat Nabi, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2000), h.67.
[11] KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Qur’an Dan As-Sunnah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h. 398.
[12] Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Abdullah bin Bahadir az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhiith fiUshul al-Fiqh, (Daar al-Kutbi, 1414H/1994M), Cet.ke-1,j.6,h.306.
[13] Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani al-Yamani, Irsyad al-Fuhul, (Mesir: Daar al-Kitab al-‘Araby, 1419H/1999M), j.2,h.252.
[14] Yusuf al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, terjemahan dari kitab Kayfa Nata’amal Ma’aat-Turast wa al-Mazhab wa al-Iktilaf, oleh Abdul Hayyi al Kattani, dkk., (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana 2003), Cet.ke-1, h.115-116.
[15] Muhammad Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1978 M), Cet. ke-1, h.15.
[16] Muhammad Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab,h.16.
[17] Muhammad Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab, h.17.
[18] Yusuf al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.86.
[19] Yusuf al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.87-88.
[20] Yusuf al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, , h.90.
[21]Yusuf al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.99.
[22] Abu Sahl Muhammad Ibn Abdurrahman al-Maghrawi, Maushu’ah Mawaqif as-Salaf fi al-Aqidah wa Al-Manhaj wa at-Tarbiyah, (Mesir : Maktabah al-Islamiyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’), cet.ke-1, jld.9, h.96.
[23] Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani al-Yamani,  as-Sail al-Jaraar al-Mutadaffaq ‘ala Hadaiq al-Azhar, (Daar Ibn Hazm), Cet.ke-1, j.1, h.13.
[24] Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah as-Syaukani al-Yamani, Irsyad al-Fuhul,254.
[25] Ahmad Azhar Basyir, Munawwir Syadzali, dkk, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung : Mizan, 1992), Cet.ke-2, h.24.
[26] Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), Cet.ke-2, h. 25-33.
[27] Yusuf al-Qardhawi, Memahami Khazanah Klasik,Mazhab dan Iktilaf, h.150.
[28] M.Quraish Shihab, Islam Mazhab Indonesia, (Bandung: Teraju, 2003), Cet.ke-2, h.15.

Komentar

Postingan Populer