ISLAM DAN DEMOKRASI DI INDONESIA



MAKALAH GHOZWUL FIKR

“ISLAM DAN DEMOKRASI DI INDONESIA”
KONTRA
“Makalah Ini diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah Individu  Pada Mata Kuliah Ghozwul Fikr”
oleh:

Siti Sholihatudz Dzikriyah
BAB I
PENDAHULUAN
Demokrasi merupakan salah satu sistem politik yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia. Termasuk salah satunya negara Indonesia yang notabene tercatat sebagai negeri mayoritas umat Islam. Demokrasi mejadi sebuah metode untuk menata dan mengatur tatanan kehidupan (termasuk di negeri-negeri kaum muslimin), menimbulkan pengaruh yang dahsyat terhadap tatanan kehidupan. masyarakat. Wacana mengenai demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum serta penghormatan terhadap suara mayoritas dan kebebasan pribadi bagi warga masyarakat yang dijadikan sebagai tipologi nyata demokrasi.
Namun, Dewasa ini demokrasi yang dijalankan dalam tatanan sistem sudah tidak lagi menggunakan filterisasi. Seperti peristiwa yang marak terjadi di negara Barat, yang menerima penghalalan dan pelegalan perkawinan sesama jenis. Hal ini dilakukan dengan mengatasnamakan “hak asasi manusia” yang merupakan bagian dari demokrasi itu sendiri. Dalam pandangan Islam hal demikian tidaklah sesuai bahkan telah menyalahi hukum islam. Islam telah mengajarkan dan mengatur hak-hak yang diperbolehkan bagi umatnya tanpa melakukan penyimpangan. Islam memandang masyarakat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan dapat menghirup udara kebebasan personal dan sosial yang tentunya sesuai dengan syariat islam. Wacana demokrasi yang dikembangkan oleh Barat banyak bertentangan dengan syariat islam. Dalam Islam, apabila suara mayoritas bertentangan dengan kehormatan dan kemuliaan (karâmah) manusia maka suara mayoritas tersebut tidak bernilai apa pun dan juga tidak memiliki legalitas dalam pandangan Islam, berbeda dengan demokrasi. Banyak wacana lain mengenai pro-kontra demokrasi. Di Indonesia, demokrasi merupakan sebuah sistem yang telah disepakati sebelumnya. Namun akhir - akhir ini produk dan praktik demokrasi yang telah menyimpang memunculkan kontra terhadap demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang mengatas namakan kepentingan rakyat nyatanya tidak seperti yang diharapkan. Kekuasaan ada pada tangan-tangan kapitalis dan pemilik modal. Rakyat hanyalah sebagai boneka permainan orang-orang besar tersebut. Apa yang sering disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang ketidak cocokan sistem demokrasi di Indonesia dilihat dari sejarah masuknya demokrasi ke Indonesia, sikap islam terhadap demokrasi di Indonesia, problematika dan praktik demokrasi yang terjadi, fakta mengenai kebobrokan sistem demokrasi srta sistem demokrasi bukan menjadi solusi terbaik untuk indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Islam dan Demokrasi
1.      Definisi Islam
Secara etimologi islam bermakna at-Taslim wa al-Inqiyadi Awamirillah (keselamatan dan patuh terhadap perintah Allah SWT).[1] Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.[2] Sedangkan islam secara makna, maka akan menjadi sangat luas jika dikaitkan dengan beberapa arti diatas. Islam adalah satu sistem yang menyeluruh yang mengandungi semua aspek kehidupan. Sebagaimana Pengertian Islam yang tercantum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh muslim:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ[3]
Menurut Hasan al- Banna Islam adalah daulah dan tanah air ataupun kerajaan  dan umat. Ia adalah akhlak  dan  kekuatan  ataupun rahmat  dan keadilan. Ia adalah kebudayaan dan undang-undang  ataupun  keilmuan dan kehakiman. Ia juga adalah kebendaan dan harta  ataupun kerja dan kekayaan. Ia adalah jihad dan dakwah ataupun ketenteraan dan fitrah. Sebagaimana juga ia adalah akidah  yang  benar dan ibadah yang sahih, kesemuanya adalah sama pengiktibarannya di sisi kita. Allah menciptakan manusia, dengan dibekali dengan sebuah sistem yang sempurna untuk mewujudkan tujuan-tujuan penciptaannya untuk menjadi khaliffah fil al-Ardh. Sebagaimana firman Allah :
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Semua tujuan penciptaan manusia dan tujuan Syariat ini dapat dicapai hanya jika syariat Islam itu dilaksanakan secara utuh, tidak parsial dan tambal sulam seperti yang terjadi saat ini di dunia Islam. Umat Islam telah merasa melaksanakan Islam secara baik dengan mengamalkan Islam dari sisi syariat ibadah, tapi meninggalkan Islam dari sisi ekonomi, politik dan sebagainya. Ketika pun ada keinginan melaksanakan syariat Islam dari sisi ekonomi misalnya, masih rancu dalam pelaksanaannya karena hanya dipahami dari sisi transaksi syariat belum kepada penerapan ekonomi syariah dalam pemahamaman yang sebenarnya. Demikian pula sisi-sisi yang lain.
2.      Definisi Demokrasi
Adapun Secara etimologis “demokrasi’ terdiri dari dua kata yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat  dan “cratein” atau “cratos”, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Gabungan dua kata tersebut memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.[4]
Sedangkan secara terminologis menurut Joseph A.Schmeter mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.[5]
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi adalah peran utama rakyat dalam proses sosial dan politik. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan ditangan rakyat yang mengandung pengertian tiga hal :
Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum.
Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people) bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, buakn atas dorongan pribadi elite Negara atau elite birokrasi. Selain itu, bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control).
Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people) bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Repulik Indonesia.[6]
B.     Permasalahan Islam dan Demokrasi
Ditengah proses demokratisasi global, banyak kalangan ahli demokrasi diantaranya Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset, menyimpulkan bahwa dunia islam tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup andal. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P.Huntington yang meragukan islam dapat berjalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang secara kultural lahir di barat. Karena alasan inilah dunia islam dipandang tidak menjadi bagian dari proses gelombang demokratisasi dunia. Setidaknya, terdapat tiga pandangan tentang islam dan demokrasi, yaitu :[7]
Pertama, islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi, karena islam merupakan sistem politik yang mandiri (self-sufficient). Dalam bahasa politik muslim, islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tidak saja mengatur persoalan keimanan (akidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia termasuk aspek kehidupan bernegara. Pandangan ini didukung oleh kalangan pemikir muslim seperti Sayyid Qutb dan Thabathabai. Islam sebagai sistem yang lengkap (Kaffah), maka islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep barat tidak tepat untuk dijadikan acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam masyarakat muslim, islam tidak dapat dipadukan dengan demokrasi.
Kedua, islam berbeda dengan demokrasi jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikan di Negara barat maupun di Indonesia.
Ketiga, persoalan kultur islam dan demokrasi yang berbeda. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di Negara-negar muslim sejak paruh pertama abad 20, tetapi gagal. Tampaknya ia tidak akan sukses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa otokrasi dan ketaatan absolute kepada pemimpin, baik pemimpin agama maupun penguasa. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis.   
Ketetapan di dalam sistem perundangan demokrasi, selaras dengan apa yang ditetapkan oleh para pengamat politik bahwa seharusnya dewan perwakilan itu dianggap sebagai representasi kehendak rakyat, akan tetapi sering kali hal ini tidak dapat terjadi, atau seperti dalam uraian al-Maududi tetang pemilu di negara barat : “Pemilu ini tidak akan sukses, kecuali dengan menipu manusia, memperdaya akal dan hati mereka dengan harta, pengetahuan, kecerdasan dan propaganda palsu. kemudian mereka yang sukses terpilih, berubah menjadi tuhan-tuhan bagi mereka, yang mensyariatkan undang-undang sekehendak mereka, bukan untuk kemaslahatan orang banyak, namun untuk kepentingan pribadi dan keuntungan partainya. Ini sungguh merupakan penyakit akut yang menjangkiti negara Amerika, Inggris dan seluruh negeri yang hari ini menyebutnya sebagai surga demokrasi.” (Nazhoriyah al-Islâm as-Siyasiyah hal. 18).
Demikianlah yang terjadi di dalam demokasi pada bentuk asalnya, apabila kita berpindah kepada sistem demokrasi dalam versinya yang palsu, maksud saya adalah sistem demokrasi yang timpang yang lazim terjadi pada negeri kaum muslimin, sejatinya hanyalah kedok untuk menutupi hukum diktatorisme dan kesewenang-wenangan mereka. Kita akan mengungkap bahwa esensinya adalah tetap sama-sama demokrasi, yaitu manusia-lah yang mensyariatkan hukum kepada manusia lainnya. Dewan Perwakilan Rakyat di Mesir contohnya, yang memiliki kewenangan legislatif sebagaimana tercantum pada pasal 86 dari konstitusinya, tertulis : “Demokrasi adalah kedaulatan tertinggi rakyat.” Sama juga dengan majelis parlemen di negeri ini, mereka membuat undang-undang menurut kehendak anggotanya secara bebas/merdeka atau dari pemerintah yang mendiktenya. Hasilnya tetap satu, yaitu bahwa manusia-lah diberikan hak untuk membuat legislasi dan meletakkan undang-undang. Sistem demokrasi di Indonesia ternyata memunculkan konflik antar agama. Terdapat pro dan kontra antara agama yang satu dengan yang lain tentang demokrasi. Indonesia kini tengah dihadapkan oleh tantangan.mSebagai contoh kasus tersebut adalah konflik antar umat beragama di Poso, Ambon, dan sejumlah tempat yang lain. Pancasila sebagai dasar Negara sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Keberadaan pancasila justru akan memberikan kebebasan pada kelompok-kelompok lain untuk berkembang di Indonesia. Maka, dengan sistem Daulah yang ada pada zaman Nabi segala permasalahan yang terjadi di Indonesia akan dengan mudah diselesaikan.[8]
Secara lebih detail terkait dengan pro dan kontra Islam terhadap demokrasi Indonesia, yakni sebagaimana yang diberikan oleh Robert Pinkney (1994) tentang model-model demokrasi. Menurutnya  ada dua model demokrasi yaitu demokrasi berwawasan radikal (radical democracy), dan demokrasi berwawasan liberal (liberal democracy).[9]
Menurut Pinkney, demokrasi radikal ditandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak setiap warganegara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum. Hal itu karena kehendak mayoritas dalam demokrasi radikal adalah yang terpenting, sedangkan negara tak lebih dalam posisi melaksanakan kehendak mayoritas itu. Wawasan demokrasi semacam ini, bagi Douglas M. Brown (1988), terlihat cenderung lebih menekankan makna formal demokrasi (the radicalization of formal democracy).[10]Adapun demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warganegara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat representasi warganegara dan melindunginya dari tindakan kelompok lain ataupun dari negara. Negara dalam hal ini tidak berposisi sebagai operator kehendak mayoritas, karena mungkin saja akan bertabrakan dengan kepentingan minoritas. Negara lebih berfungsi sebagai wasit untuk menjamin terpeliharanya tingkat representasi dan perlindungan bagi segenap warganegara.[11] 
Sungguhpun dalam ajaran Islam terkandung sangat banyak nilai yang mendukung prinsip demokrasi, namun, ada suatu kondisi yang dianggap bertentangan dengan demokrasi jika kehendak penerapan syariat Islam akan diakomodasi. Kondisi yang dimaksud itu adalah kedudukan syariat yang amat signifikan dalam Islam; yang tentu saja lebih penting dari kehidupan demokrasi itu sendiri.
Daniel E. Price (1999) mengungkapkan bahwa banyak kelompok Islam politik di negara-negara Muslim mengklaim bahwa keberadaan negara adalah tak lebih sebagai sarana untuk menerapkan syariat Islam. Karena itu, walaupun suatu negara diperintah oleh rezim otoriter, asalkan mempunyai kebijakan penerapan syariat Islam, akan tetap didukung dan dipertahankan. Pandangan semacam ini tentu saja akan dapat melanggengkan rezim otoriter dan menyulitkan bagi munculnya rezim demokratis.[12]
C.    Teori Demokrasi dan Sejarah Masuknya Demokrasi ke Indonesia
Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran yunani tentang hubungan Negara dan hukum dipraktikan antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. demokrasi yang dipraktiakan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan prosedur mayoritas. Yang unik dari demokrasi yunani itu adalah ternyata hanya kalangan tertentu (warga Negara resmi) yang dapat menikmati dan menjalankan sistem demokrasi awal tersebut, sementara masyarakat berstatus budak, pedagang asing, perempuan dan anak – anak tidak bisa menikmati demokrasi.[13]
Dilihat dari sejarah, Indonesia telah mengalami beberapa pergantian sistem demokrasi selama empat periode : periode 1945 – 1959, periode 1959-1965,periode 1965-1998 dan periode pasca orde baru.[14]
Pada periode 1945 -1959 dikenal dengan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan. Namun demikian, model demokrasi ini dianggap tidak cocok untuk Indonesia. Lemahnya budaya demokrasi untuk mempraktikan demokrasi model barat ini telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan sosial politik. Demokrasi parlementer mengakibatkan fragmentsi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama sehingga, pemerintahan yang berbasis pada koalisis politik pada masa ini jarang dapat bertahan lama. Persaingan tidak sehat antar faksi-faksi politik dan pemberontakan pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu sendiri.[15]
Faktor-faktor disintegratif diatas, mendorong soekarno mengeluarkan dekrit presiden pada 5 juli 1959, yang menegaskan berlakunya kembali undang-undang dasar 1945; masa demokrasi berdasrkan sistem parlementer berakhir, digantikan oleh demokrasi terpimpin (1959 – 1965). Cirri – ciri dari demokrasi terpimpin ini  adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik nasional. Kepemimpinan presiden tanpa batas ini terbukti melahirkan tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi terpimpin model Soekarno adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai dengan demokrasi, yakni lahirnya absolutism dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada saat yang sama hilangnya control sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif. Dalam kehidupan politik, peran politik partai kommunis Indonesia (PKI) sangatlah menonjol. Bersandar pada dekrit presiden 5 juli sebagai suber hukum, didirikan banyak badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang telah dimanipulasi  dan digunakan PKI sebagai wadah politik.[16]
Akhir dari sistem demokrasi terpimpin Soekarno yang berakibat pada peseteruan politik ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan gerakan 30 september 1965.[17]
Di era Soekarno, di satu sisi, Islam kadang mendukung dan menjadi bagian dari kekuasaan, sementara di sisi lain kadang menentang dan berada di luar kekuasaan. Pola seperti ini juga kita temui pada era Soeharto. Bahkan, jika dicermati, juga terjadi pada pemerintahan sesudahnya, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati.
Dalam konteks relasi dan tarik menarik antara Islam (lebih tepatnya “pemeluk Islam”) dengan rezim kekuasaan, maka rezim kekuasaan tampaknya memainkan peran yang lebih dominan. Ini bisa dimaklumi karena kekuasaan punya power dan aparat-coersive. Rezim kekuasaan seringkali bertindak pragmatis. Demi mempertahankan kekuasaannya, rezim kekuasaan melakukan manuver apa saja, kadang merangkul, tapi kadang juga memberangus Islam. Untuk itu masuk akal juga jika ada ide sekularisasi, dimana agama (khususnya Islam) coba dipisahkan dari negara. Jika mendekat ke entitas negara dan kekuasaan, maka agama (Islam) sangat rentan karena bisa diperalat untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan untuk menguasai dan menindas masyarakat. Wacana sekularisasi yang telah lama bertiup dari Barat telah terjadi di era Soekarno, dan terus berlangsung di era Soeharto, bahkan era-era presiden setelahnya, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati.[18]
Adapun periode 1965 – 1998 merupakan masa pemerintahan presiden soeharto dengan orde barunya melalui demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas Negara hukum dan kepastian hukum. Kedua, demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga Negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM yang tidak memihak. Namun, hal yang disayangkan adalah alih-alih demokrasi pancasila yang dikampanyekan hanya sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan pemerintahannya, penguasa orde baru bertindak jauh dari prinsip demokrasi.[19]
Di era Soeharto, komunitas Islam tertentu lewat para pemuka agamanya, ironisnya kadangkala justru menjadi alat legitimasi untuk mendukung kekuasaan yang otoriter dan tidak demokratis. Dalam berbagai kasusnya yang cukup banyak. Agama, khususnya Islam, dalam pentas sejarah tanah air menyiratkan paradoks; kadang bisa menebar kedamaian, sekaligus memicu kekerasan.
Kekerasan terbesar dan tragedi kemanusiaan dalam sejarah tanah air dan ironisnya melibatkan komunitas Islam, misalnya terjadi setelah peristiwa G 30 S PKI, di akhir tahun 1965 dan sepanjang tahun 1966. Dalam tragedi saling bantai anak bangsa ini, diperkirakan sekitar lima ratus ribu nyawa manusia melayang. Agama kadangkala bisa juga menjadi pemicu pertikaian dan kekerasan, bahkan antar pemeluk agama yang berlainan, atau bahkan antar berbagai aliran dalam satu agama sekali pun. Persaingan atau konflik tersembunyi antara Islam dan Kristen, dalam fase-fase tertentu sejarah Orde Baru banyak terjadi. Kenyataan yang ironis ini tidak diekspos atau hanya disapa secara sepintas lalu.[20]
Periode pasca orde baru sering disebut dengan era reformasi. Periode ini erat hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Faktanya tidak demikian. Justru pada era reformasi yang katanya lebih demokratis dibanding era Orde Baru, rakyat Indonesia yang notebene mayoritasnya umat Islam, kondisinya tidak lebih baik. Angka kemiskinan, utang pemerintah, korupsi, dekadensi moral, dominasi asing dalam politik dan ekonomi, menjadi makin gila-gilaan justru di era reformasi sekarang. Padahal banyak orang Islam di parlemen dan kabinet.[21]
D.    Krisis Identitas Dan Peradaban Akibat Demokrasi di Indonesia
Kita sepantasnya merenung dan tergugah, ketika berbagai bangsa lain semakin kukuh mengibarkan identitas dirinya yang dikaitkan dengan berbagai produk teknologi unggulan , bangsa ini tengah dirundung malang baik oleh krisis politik, keuangan, pengangguran,tragedy bencana alam, ataupun masalah ideology. Dilapisan elite politik saling bermanuver untuk berebut dan mempertahankan kekuasaannya, dikalangan akar rumput demokrasi dan tindakan anarkis muncul disana sini. Sejak dari pembunuhan, pemerkosaan, pengedaran narkoba, sampai VCD porno, hamper setiap hari dapat diikuti pemberitaannya dimedia massa. Massa notabene nya beragama islam yangmudah sekali marah dan main hakim sendiri hanya karena masalah sepele. Dalam kehidupan beragama, seseorang atau anggota sebuah organisasi keagamaan dengan mudahnya tersinggung dan mengancam kelompok lain yang dianggap berbeda pandangannya. [22]
Tidak mau ketinggalan, kalangan elite politik juga sering kali menggunakan massa untuk sehingga mendukung agendanya  sehingga menggeser tradisi wacana yang cerdas dan damai. Kekuatan massa telah dijadikan modal politik untuk melakukan tawar-menawar kekuasaan. Diluar massa elite dan politik, tindakan nepotisme dan korupsidan nepotisme semakin subur seiring dengan seruan anti korupsi. parahnya lagi, korupsi juga menjalar dilingkungan lembaga penegak hukum.
Saat ini demokrasi yang ada di Indonesia baru hanya menyentuh aspek prosedural saja. Hal ini dapat terlihat dengan beberapa kasus pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) dimana proses pemilihan secara langsung, hanya mengedepankan aspek demokrasi procedural. Akibatnya, pilkada yang diharapkan menjadi gerbang kesejahteraan rakyat lokal hanya dijadikan ajang “perebutan kekuasaan” raja lokal untuk meraih kekuasaan. Dan tidak sungkan – sungkan melakukan tindakan anarkis, sengan merusak fasilitas warga bila dinyatakan kalah dalam pilkada tersebut. Semula harapan dan keyakinan bangsa Indonesia amat tinggi bahwa gerakan reformassi dapat menyembuhkan degradasi moral bangsa yang mayoritas beragama islam serta mampu menciptakan kemakmuran negri. Namun pada kenyataannya, hamper tidak ada garis pemisah yang tegas dan jelas antara pemerinta pasca reformasi dan rezim orde baru. Reformasi yang mengusung wacana demokrasi, penegakan HAM dan masyarakat madani ternyata tidak mampu menghilangkan perilaku-perilaku tidak demokratis dan berada peninggalan masa lalu. Dengan kata lain, pararel dengan menguatnya tuntutan demokrasi dan penegakan HAM, kita masih menjumpai prilaku dan tindakan – tindakan yang tidak demokratis, sepertipolitik uang (money politics), angka korupsi yang masih tinggi, dan penggunaan simbol-simbol primordial (agama, budaya dan suku) untuk tujuan - tujuan politik sesaat. Bahkan, unsur terakhir ini kerap kali berpotensi mengancam keutuhan Indonesia sebagai bansa yang majemuk dan besar.[23] 
E.     Peninjauan Ulang Sistem Demokrasi di Indonesia
Salah satu akibat dari dipindahkannya gagasan demokrasi dari Negara-kota ke Negara nasional adalah bahwa kemungkinan bagi warga Negara untuk berpartisispasi secara penuh dalam keputusan bersama menjadi lebih terbatas dari sebelumnya, sekurang-kurangnya secara teoritis, dalam suatu sistem yang jauh lebih kecil. Dewasa ini bagi kebanyakan orang, batas-batas ini nampaknya tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun hakikat dari gagasan demokrasi, dan asal-usulnya, mencegah hilangnya harapan bahwa batas-batas itu akan dapat dilampaui dengan menciptakan bentuk dan lembaga demokrasi baru (atau menghidupkan kembali yang lama). Akibatnya, suatu arus bawah kuat yang lebih menjagokan idealisme suatu Negara demokrasi yang sepenuhnya partisipatif selalu terdapat dikalangan para pendukung demokrasi. Pada Negara yang luas wilayanhnya seperti Indonesia, rakyat mengira bahwa demokrasi itu bebas. Demokrasi sangat menipu diri sendiri. Demokrasi hanya bebas ketika memilih anggota parlemen. Segera setelah mereka terpilih, demokrasi langsung menjadi budak dan tidak ada artinya sama sekali.[24]
Menurut James didalam buku Demokrasi dan Para Pengritiknya, Demokrasi pada pokoknya adalah seuatu topeng ideologis saja. Bila dilihat dengan hati-hati dibalik topeng itu akan ditemui gejala lama yang biasa dijumpai dalam pengalaman maunisa; dominasi.[25]
Untuk mendukung pendapat seperti itu, ia mengutip pendapat seorang pendahulunya,GaetanoMosca dalam bukunya Teorica dei Governi e Governo Parlamntare tahun 1884:[26] Diantara fakta-fakta dan kecenderungan yang selalu ada yang ditemukan dalam sebuah organisasi politik, satu diantara demikian jelas sehingga tampak oleh kebanyakan pandangan mata sepintas lalu saja. Dalam semua masyarakat, mulai dari masyarakat yang baru sedikit sekali berkembang dan baru saja mencapai fajar peradaban,sampai kepada masyarakat yang paling maju dan paling besar kekuasaannya, tampak adanya dua kelas rakyat, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah.kelas yang pertama yang selalu lebih kecil jumlahnya , melaksnakan segala fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati segala keuntungan yang ditimpbulkan oleh kekuasaan itu. Sedangkan yang kedua, kelas yang lebih banyak jumlahnya (rakyat)diarahkan dan dikuasai oleh yang pertama dengan cara yang kadang-kadang dapat dikatakan legal., sewenang-wenang dan kasar dan memasok yang pertama dengan bahan hidup yang bersifat materi bagi kehidupan organisasi politik tersebut.
Gaetano Mosca mengajukan sebuah pendapat  yang memberikan suatu tantangn pokok kepada kemungkinan bahwa gagasan demokrasi itu pernah dapat direalisasikan. Dengan sedikit menyderhanakannya, pendapat tersebut mengatakan minoritas tidak dapat dielakkan, maka demokrasi adlah tidak mungkin. Untuk menyatakan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang disenangi, atau merupakan jenis pemerintahan terbaik yang mungkin ada, atau bahwa kita harus berjuang untuk mencapainya , semuanya itu merupakan dalil-dalil yang sangat tidak ada relevansinya bagi kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia. Pernyataan-pernyataan tersebut (pro demokrasi) hanya berguna bagi para penguasa, Karena demokrasi berfungsi sebagai mitos yang menolong dan menyelimuti realitas dominasi dan menjamin kepatuhan mereka yang didominasi. Faktanya, demokrasi tidak dapat mengubah fakta empiris yang mendasar bahwa golongan minoritaslah (Penguasa) Yang selalu memerintah. Kini,Demokrasi tidak lagi mengatas namakan rakyat, namun mengatas namakan kepentingan penguasa belaka. Demokrasi dibawah kapitalisme kaum borjuis mendominasi kelas buruh. Jadi, kenyataannya, apa yang kita namakan demokrasi itu tidak lebih dari sebuah topeng bagi dominasi minoritas.[27]


F.     Analisis Permasalahan Islam dan Demokrasi
Secara mendasar, teori demokrasi adalah pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Para pemimpin yang diangkat dalam sistem demokrasi terikat dengan kontrak sosial untuk melaksanakan aspirasi rakyat. Makna-makna ini berbeda dan bertentangan dengan hukum-hukum Islam, bahkan demokrasi tidak ada kenyataannya sama sekali, sampaipun menurut kaum demokrat sendiri. Dari aspek kekuasaan legislatif dan hak pembuatan sistem, Islam telah memberikannya terbatas kepada Allah dan Rasul-Nya, di mana sumbernya adalah Al-Kitab dan As-Sunnah yang suci, serta dalil-dalil yang disandarkan kepada keduanya serta ditunjukkan oleh masing-masing. Rakyat atau dengan ungkapan yang lebih mendetail, ummat, tidak mempunyai hak untuk keluar dari satu nash Islam-pun, meski semuanya sepakat mengenai hal itu. Allah berfirman dalam surat al- Maidah ;49 :
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.(QS.Al-Maidah : 49).
Dengan demikian, kekuasaan legislatif ada di tangan Allah dan Rasul-Nya, bukan di tangan rakyat. Sumber undang-undangnya adalah syara’, dan bukannya rakyat. Sedangkan hak untuk mengadopsi hukum-hukum sistem dan perundang-undangan di tangan kepala negara, bukan rakyat. Siapapun yang menganalisa secara mendalam makna-makna istilah demokrasi, tentu akan bisa melihat secara jelas bahwa demokrasi tersebut bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara fundamental maupun secara rinci.[28]
Adapun Kontradiksi tersebut tercermin dalam beberapa aspek yaitu :[29]
1)      Asas sistem demokrasi adalah sekularisme, bentuk konkretnya merupakan hasil penjelmaan pada abad pencerahan (renaissance) di Eropa. Sedangkan Islam adalah ajaran yang tidak layak disekulerkan. Pemerintahan Islam dibangun di atas landasan aqidah Islam. Tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Negara dalam Islam adalah institusi politik yang menerapkan persepsi, standar dan qona’ah yang digunakan untuk melakukan aktivitas ri’ayah su’unil ummah (mengurusi urusan rakyat). Artinya, diatur dengan aturan-aturan Islam. Dari sini saja sudah cukup untuk mengatakan demokrasi tidak ada landasannya sama sekali dalam Islam.
2)       Demokrasi memberikan kedaulatan (sovereignity) bukan kepada tuhan melainkan diserahkan sepenuhnya kepada rakyat, dan mempercayakan kepada rakyat  semua perkara dalam kehidupan. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rakyat adalah sumber kekuasaan: rakyat adalah sumber kekuasaan perundang-undangan, sumber kekuasaan hukum, dan sumber kekuasaan pemerintahan. Sedangkan dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syara’, syara’merupakan sumber rujukan utama mengenai segala perkara. Tidak seorangpun diperkenankan menyusun perudang-undangan meski hanya satu aturan saja.
3)      Kepemimpinan dalam sistem demokrasi bersifat kolektif dan tidak individual. Kekuasaan juga dipegang secara kolektif, tidak secara individual. Dalam demokrasi (parlementer), kekuasaan dijalankan oleh suatu dewan menteri yang disebut kabinet. Sistem ini bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam, di mana kepemimpinan adalah milik satu orang, tidak bersifat kolektif. Demikian pula kekuasaan dipegang oleh satu orang dan tidak secara kolektif. Abdullah ibn Umar juga meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda:“Tidak di perbolehkan bagi tiga orang di manapun berada di muka bumi tanpa mengangkat salah seorang sebagai Amir diantara mereka”.
4)      Negara dengan sistem pemerintahan demokrasi terdiri dari sejumlah lembaga bukan satu lembaga. Pemerintah merupakan satu lembaga yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Sementara lembaga-lembaga yang lain merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan memerintah dan kekuasaan pada bidangnya sesuai ketentuan. Hal ini bertentangan dengan Islam, di mana negara dan pemerintah merupakan lembaga tunggal yang memegang kekuasaan. Khalifah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki qawwah (otoritas) penuh, sementara orang lain sama sekali tidak memiliki otoritas tersebut. Rasulullah saw bersabda:“Imam adalah seorang penggembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya”. Dengan demikian, tidak ada seorang pun di dalam negara, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kekuasaan dan wewenang selain Khalifah.
5)      Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan ‘suara mayoritas’. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Oleh karena itu, suara mayoritas adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas –menurut demokrasi- merupakan tolak ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya. Terkadang penetapan suara mayoritas bila melebihi 51%  suara dan terkadang penetapannya bila melebihi 2/3 suara dari wakil rakyat. Sementara dalam Islam, pendapat mayoritas tidak selalu mengikat, sebab ada perkara-perkara di dalam Islam yang tidak boleh dikompromikan sekalipun mayoritas berpendapat lain. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.

G.    Solusi yang Ditawarkan untuk Mengatasi Pro-Kontra Islam Terhadap Demokrasi
Nilai-nilai demokrasi tidak serupa dengan nilai-nilai agama, meskipun ada di dalam agama ajaran yang mirip demokrasi. Di dalam Islam banyak dijumpai perintah untuk bermusyawarah, seperti wa syawirhum fi al-amr, wa amruhum syura binahum (Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu – sedang urusan mereka, diputuskan dengan bermusyawarah di antara mereka). Di samping itu ada juga sabda Nabi “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian).[30]
Hal-hal yang bersifat duniawi murni boleh dimusyawarahkan. Islam tidak menentukan undang-undang lalu lintas di jalan raya, tetapi untuk “lalu lintas” thawaf (mengelilingi ka’bah dalam ibadah haji atau umrah) sudah ditentukan. Sebaliknya ada yang tidak bisa di-ijtihadkan, baik secara perorangan ataupun bersama-sama, seperti ketentuan dalam hukum waris. Dalam bidang ini, musyawarah hanya dilakukan berkenaan dengan prosedur penerapannya saja. Sedangkan ketetapannya sendiri tidak boleh menyimpang dari garis-garis agama, demikian juga dalam Islam sudah ditetapkan siapa yang boleh menjadi imam shalat, sehingga tidak semata-mata berdasarkan suara terbanyak. Jadi bebas tapi terikat.[31]
Sebagaimana firman Allah SWT :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh?” (QS asy-Syûrâ : 21)
Dan firman-Nya :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS an-Nisâ` : 60)
Ibnu Katsîr rahimahullâhu menukilkan sebuah konsensus (ijmâ’) atas kafirnya orang yang menjadikan bagi dirinya syariat selain syariat Alloh. Beliau berkata ketika membicarakan tentang hukum al-Yasa yang diterapkan oleh Jengis Khân untuk menghukumi para pengikutnya : “Barangsiapa yang meninggalkan syariat yang diturunkan kepada Muhammad bin ‘Abdillâh penutup para nabi, dan berhukum dengan selain syariat beliau dari syariat-syariat kafir yang telah di-mansûkh (dihapus hukumnya dengan Islam) maka ia telah kafir. Lantas bagaimana kiranya dengan orang yang berhukum dengan al-Yasa dan lebih mendahulukannya (ketimbang syariat Nabi)? Barangsiapa yang melakukan hal ini maka telah kafir dengan kesepakatan (ijmâ’) kaum muslimin.” (al-Bidâyah wah Nihâyah 13:128)




BAB III
KESIMPULAN

        Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan. Namun pada kenyataannya, Sistem demokrasi di Indonesia banyak memunculkan konflik antar agama. Terdapat pro dan kontra antara agama yang satu dengan yang lain tentang demokrasi. Seperti munculnya benturan-benturan atau konflik diantara umat beragama.
        Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi bukanlah pilihan terbaik untuk mengatasi persoalan di Indonesia. Praktik-praktik demokrasi yang menyimpang dengan islam lebih sering terjadi. Adapun praktik tersebut  adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu Ilahi.











DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, (Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992).
Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta : Yayasan Obar Indonesia,1992,cet ke-1.
Basyaib,hamid, Kemelut Demokrasi Liberal Surat-Surat Rahasia Boyd R.Compton,(Jakarta : PT.Pustaka LP3ES Indonesia,Anggota IKAPI. 1993).
Samodra Wibawa dalam buku Demokrasi Ditinjau Kembali,(Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,1993).
Aa Nurdiaman,Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta : PT.Grafindo Media Pratama,2002).

Aim Abdulkarim, "Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Warga Negara yang Demokratis",(Jakarta:PT.Grafindo Media Pratama,2001).

Landung Simatupang,dkk. Indonesia di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi dan Krisis,(Yogyakarta : LKisYogyakarta,2000)cet ke-1.

A.Ubaedillah,dkk.Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,(Jakarta Selatan:Kencana Prenada Media Group,2008).

http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003k.asp Diunduh Jum’at, 26.04.2013. Jam 11.00 WIB

Arskal Salim, Islam diantara dua model demokrasi dalam alamat http://islamlib.com/?site=1&aid=224&cat=content&cid=11&title=islam-diantara-dua-model demokrasi. Akses Ahad, 28.04.2013 jam 12.57 WIB.






[1] Abu Hanifah an-Nu’man Ibn Sabit, Fiqh al-Akbar, (Saudi Arabi : Dar al-Furqan, 1419 H), Cet. Ke-1, h.57.
[2] Muhammad Ibn Abdullah Ibn Shalih as-Sahim, Islam Ushuluhu wa Mabadiuhu, ( Saudi Arabi: Dar al-Irsyad, 1421 H), cet. Ke-1, J.1, h.6.
[3] Muslim ibn Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Baeirut : Dar Ihya al- Arabi), Cet. Ke- 3, J.1, h.36.
[4] A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,  h.36.
[5] A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,  h.37.
[6] Aa Nurdiaman, Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: PT. Grafindo Media Pratama, 2002), h.4.
[7] A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h.52.
[8] Ani Rufaidah, Agama dan Demokrasi, (Malang : Averroes Press, 2008), h.3-4.
[10] Dikutip dari Samodra Wibawa dalam buku Demokrasi Ditinjau Kembali, (Yogyakarta                :PT.Tiara Wacana Yogya,1993), h.5. Terjemahan dari buku  Rethinking Democracy, karangan Carol C.Gould.
[11]Basyaib,hamid, Kemelut Demokrasi Liberal Surat-Surat Rahasia Boyd R.Compton, (Jakarta : PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Anggota IKAPI, 1993), Cet. ke-1, h.207.
[12] Ani Rufaidah,  Agama dan Demokrasi, h.5.
[13]A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.41.
[14] Landung Simatupang,dkk. Indonesia di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial dari Reformasi dan Krisis, (Yogyakarta : LKis Yogyakarta,2000), Cet ke-1, h.23.
[15] A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h.43.
[16] A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h.44.
[17]A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,  h.45.
[18]http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003k.asp Aksess Ahad, 28.04.2013 jam 12.57 WIB.
[19] A.Ubaedillah, dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h.45
[20]http://www.ditpertais.net/jurnal/vol62003k.asp Aksess Ahad, 28.04.2013 jam 12.57 WIB.
[21]A.Ubaedillah,dkk. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h.45– 46.
[22]Kata sambutan Komarudin Hidayat dalam buku Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h.viii.
[23] Kata sambutan Komarudin Hidayat  dalam buku Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, Jakarta : 2008 Cet. ke-3, h.viii.
[24] Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya,Yayasan Obar Indonesia, Jakarta :1992, Cet ke-1, h.24.
[25] Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, h.87.
[26] Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, h.88.
[27] Robert A.Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, h.89 - 90.
[28] Franz Magnis Suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, (Jakarta : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1992), h. 46.
[29] Franz Magnis Suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, h.47.

[30] Franz Magnis Suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, h.47.
[31] Franz Magnis Suseno, dkk, Agama dan Demokrasi, h.48.

Komentar

Postingan Populer