al-Ahkam al- Khams



A.    Pendahuluan
Kajian mengenai ilmu syari’ah kaitannya dengan hukum islam (Islamic Law) pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan oleh seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, tentang cara, usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi syari’at tersebut.[1] Dalam islam, hukum mengatur pola kehidupan manusia tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan umat islam dalam beribadah dan bermuamalah. Sebagai sebuah perangkat peraturan tentang tingkah laku manusia, hukum  ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, serta berlaku dan bersifat mengikat seluruh anggotanya.[2] Tentunya hukum tersebut harus dirangkaikan dengan kata syara’ yaitu hukum syara’, yang berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku untuk semua umat yang beragama  islam. Para ulama pun bersepakat bahwa pokok penentu keberlakuan hukum syariat islam terhadap seluruh perbuatan mukallaf adalah berdasarkan titah Allah SWT. Baik hukum tersebut secara jelas diterangkan didalam nash yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, ataupun melalui petunjuk (hasil ijtihad) para mujtahid dalam membuat hukum dengan perantara dalil-dalil atau kaidah-kaidah pengambilan hukum (istinbat hukm).[3]
Ahli Ushul mengatakan yang disebut hukum  adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil Al-Qur’an atau Sunnah. Misalnya,  perintah shalat dan menunaikan zakat[4]. Lain halnya dengan para Ahli fiqh, mereka telah memberikan definisi mengenai hal tersebut. bahwa hukum syara’ adalah sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang ditimbulkan dari titah Allah terhadap orang mukallaf itu. Seperti halnya “wajibnya shalat” sebagai pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat. Adapun perbuatan yang dituntut, menurut mereka disebut  wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.[5]
Selanjutnya, ketika kita membicarakan tentang sistem hukum, maka secara sederhana terlintas dalam pikiran kita mengenai peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan tersebut tumbuh dan berkembang pada masyarakat itu sendiri atau merupakan hasil buatan masyarakat dengan cara tertentu yang kemudian diberlakukan oleh penguasa (pemimpin).[6] Dalam hukum islam terdapat lima  hukum/kaidah yang dipergunakan sebagai patokan dalam mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun kehidupan bermuamalah.[7] Kelima hukum tersebut disebut oleh ulama dengan al-Ahkam al-Khams (lima Kualifikasi).[8]
Lima hukum tersebut berkaitan erat dengan Mukallaf atau Mahkum ‘Alaih selaku subjek hukum. Mukallaf  atau Mahkum ‘Alaih ini adalah orang yang terkena beban (taklif) keberlakuan hukum, meliputi orang yang yang telah baligh dan berakal. Dari segi usia, yang disebut mukallaf adalah mereka yang telah memiliki kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, dan memahami jenis hukum sebagai suatu objek perbuatan.[9] Untuk mengenal hakikat al-Ahkam al-Khamsah itu sendiri, maka penulis perlu mengemukakan definisi yang dikemukakan para ahli ushul mengenai hal tersebut.
B.     Pengertian al-Ahkam al-Khamsah
Kata ahkam merupakan bentuk jama’ dari lafadz hukm yang berarti norma, peraturan. Hukm juga berarti al-Man’u (mencegah), yang berarti mencegah untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan itu.[10] Ahli ushul mendefinisikan hukum dalam kaitan ini hukum syar’i sebagai khitab Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan ataupun ketetapan.[11] Adapun kata Khams berarti lima. Yang berarti gabungan dari kedua kata yang dimaksud al-Ahkam al-Khams yaitu hukum-hukum yang lima yang menyangkut tindak tanduk manusia (mukallaf) dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketentuan. Jumhur ulama mengatakan bahwa al-ahkam al-khamsah disebut juga dengan hukum taklifi.[12] Artinya, al-ahkam al-khamsah merupakan sekumpulan aturan-aturan Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan terhadap mukallaf; Tuntutan tersebut berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.[13] Hukum taklifi merupakan bagian dari hukum syara’ atau hukum syariat. Dinamai dengan hukum taklifi, karena titah disini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf.[14]
Adapun hukum taklifi meliputi perbuatan yang diwajibkan (wajib), dilarang (haram), dianjurkan (mustahab), tidak dianjurkan (makruh), dan diizinkan (mubah).[15] Para fuqaha mengatakan bahwa dalam pandangan islam tidak ada satupun perbuatan yang bebas dari kelima hukum ini. Apakah ia wajib, artinya ia harus dikerjakan dan apakah tidak boleh ditinggalkan, seperti shalat lima waktu; atau apakah ia haram, artinya ia tidak boleh dikerjakan dan harus ditinggalkan seperti minum alkohol dan sejenisnya; atau ia mustahab, artinya baik untuk dikerjakan tapi tidak mengerjakan nya pun tidak berdosa seperti shalat di masjid; atau apakah ia makruh, artinya buruk bila dikerjakan tetapi tidak berdosa bila dikerjakan, seperti berbicara tentang urusan duniawi didalam masjid; atau apakah ia mubah, artinya mengerjakannya dan tidak adalah sama saja.[16] Seperti dikatakan didalam buku Bunga Rampai Hukum Islam oleh M. Thahir Azhary bahwa kadar kualitas hukum taklifi ini mungkin dapat naik dan mungkin pula menurun. Dikatakan naik apabila suatu perbuatan dikaitkan dengan wajib dan sunnah, dikatakan menurun, apabila perbuatan tersebut dikaitkan dengan makruh dan haram. Semuanya tergantung bagaimana ‘illat (rasio) atau penyebabnya.[17]Imam Ghazali juga mengatakan dalam kitab Al-Mustashfa’ bahwa pembagian hukum yang tetap bagi perbuatan mukallaf terbagi menjadi lima; wajib (perintah), mahzur (yang dilarang), mubah, mandub, dan makruh.[18]
Ulama Hanafiah membagi hukum taklifi menjadi tujuh, yaitu fardhu, wajib, tahrim, karahah tahrim, karahah tanzih dan nadb.[19] Hukum yang berkaitan dengan tuntutan mengerjakan dalam bentuk pasti tersebut  tidak dibedakan dari dalil yang menetapkannya menurut jumhur ulama. Namun, ulama hanafiyah merinci lagi tuntutan pasti dari segi kekuatan dalilnya menjadi dua, yaitu :
1.      Tuntuan mengerjakan secara pasti ditetapkan melalui dalil yang qath’i  atau pasti, disebut fardhu (الفرض)
2.      Bila dalil yang menetapkan bersifat tidak pasti (dzanni’), maka disebut wajib.
Ulama hanafiyah membedakan antara fardhu’ dan wajib meskipun keduanya sama dalam hal sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan mengakibatkan ancaman terhadap yang meninggalkannya. Seperti masalah membaca ayat-ayat Al-Qur’an dalam shalat. Keharusan membaca ayat Al-Qur’an didasarkan pada dalil yang qath’i  yaitu firman Allah dalam surat al-Muzammil: 20.[20]
Perbedaan ulama hanafiyah dengan jumhur ulama juga terdapat pada tuntutan meninggalkan secara pasti. Ulama hanafiyah membagi larangan yang pasti ini kepada dua bagian. Pertama, tuntutan meninggalkan secara pasti ditetapkan melalui dalil qhat’i  baik dari al-Qur’an, Hadis mutawatir, atau ijma’ disebut tahrim, seperti larangan berbuat zina. Hukum ini adalah kebalikan dari fardhu. Kedua, larangan yang ditetapkan melalui dalil zhanni seperti hadis ahad disebut karahah tahrim. Hukum ini dkebalikan dari wajib. Adapun pengertian karahah yang digunakan jumhur ulama (larangan yang tidak pasti) dikalangan ulama hanafiyah disebut karahah tanzih.[21]
Dalam sistem tata norma Islam, ajaran al-ahkam al-khamsah meliputi seluruh kehidupan manusia didalam segala lingkungannya, yakni kesusilaan pribadi, masyarakat dan hukum duniawi. Lingkungan hukum duniawi adalah masyarakat yang dibentuk dengan penguasa sebagai pengelolanya. Ketiga-tiganya merupakan satu rangkaian kesatuan, dan bertautan satu dengan yang lain. Istilah al-ahkam al-khamsah atau "lima nilai” mengacu pada sistem mengklasifikasi semua tindakan dan hubungan manusia sesuai dengan nilai etika dalam rangka untuk memastikan tingkat kebaikan atau keburukan.[22]
C.    Pembagian al-Ahkam al-Khamsah (Hukum Taklifi)
1.      Wajib dan Pembagiannya
Definisi Wajib
Yaitu tuntutan secara pasti dari Syar’i untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenakan hukuman.[23] Ahli ushul mendefinisikan wajib  dengan:
الفعل المطلوب على وجه اللزوم بحيث يثاب فاعله ويعاقب تاركه.[24]
 Lebih lengkapnya Amir Abdul Aziz dalam kitabnya Ushul al-Fiqh al Islami mengatakan mendapatkan celaan bagi orang yang meninggalkan perkara wajib disertai unsur kesengajaan atau tanpa uzur.[25] Ini berarti tuntuntan untuk mengerjakan (kewajiban) tersebut bersifat mutlak diberikan oleh Syari’ dan brsifat tetap (lazim).[26] Lazim inilah yang membedakan antara wajib dan Sunnah.
Untuk mengetahi lazim atau tidaknya suatu perintah dapat diketahui melalui bentuk (shigat) yang menunjukkan indikasi adanya kewajiban melalukan seperti menggunakan fi’il amr[27], atau adanya ancaman untuk orang yang meninggalkan[28], atau melalui keterangan lain seperti Hadis.[29]
Sebagaimana telah disinggung, menurut jumhur ulama wajib itu sinonim dari fardhu dalam segala hal dan keadaan kecuali satu hal, yaitu dalam masalah ibadah haji. Dalam hal ini wajib tidak sama dengan fardhu karena dalam hukum haji, Syari’ menjadikan sebagian amalan haji batal sebab meninggalkannya disebut rukun atau fardhu haji, seperti Wukuf; dan amalan yang tidak menyebabkann batalnya haji, namun berkewajiban untuk membayar dam, disebut dengan wajib haji.[30]
Menurut Ibn as-Subki dalam kitab Jam’ul Jawami perbedaan antara wajib dan fardhu hanya perbedaan secara lafziyah saja. Hal itu dibantah oleh golongan hanafiyah bahwa perbedaan wajib dan fardhu bukan sekedar perbedaan lafdziyah saja, namun ada implikasi pengaruh fiqh atas hukum tersebut; walaupun pada dasarnya ulama hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama dalam hal keharusan untuk melakukan keduanya.[31]
Fardhu menurut ulama Hanafiyah ialah tuntunan untuk memperbuat dalam bentuk pasti dan tuntutan tersebut ditetapkan dengan dalil qath’i serta tidak mengandung keraguan. Adapun wajib adalah tuntutan untuk memperbuat dengan dalil dzanni yang masih mengandung keraguan. Contohnya: membaca surat al-Fathihah dalam shalat adalah fardhu atau wajib menurut jumhur ulama.  Karenanya batal shalat orang yang tidak membaca al-Fathihah. Memurut ulama hanafiyah membaca al-fathihah adalah wajib karena ditetapkan dengan dalil dzanni,[32]  berdasarkan hadis Nabi:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَاب
Orang yang tertinggal membaca ­al-Fathihah tidak batal shalatnya hanya karena ia meninggalkan perbuatan wajib ia berdosa. Yang dapat membatalkan shalat ialah tidak membaca al-Qur’an dalam shalat, baik suart al-Fathihah  maupun ayat-ayat lainnya, karena membaca al-Qur’an itu hukum nya fardhu sebab ditetapkan dengan dalil yang qhat’i yaitu firman Allah dalam surat al-Muzammil; 20:[33]
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
Pembagian Wajib
1.      Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya;
-          Wajib Mutlaq, yaitu: kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dalam arti tidak salah apabila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai ia sanggup melakukannya.[34]
Contoh: orang yang bernazar untuk beri’tikaf (diam) di masjid selama satu bulan, maka ia wajib beri’tikaf pada bulan apapun yang ia  kehendaki. Menqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena udzur. Ia wajib melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai kesanggupan.[35] Ini merupakan pendapat ulama hanafiyah dan golongan dari ulama ushul. Mereka berpendapat bahwa perintah pada dasarnya menunjukan untuk melakukan suatu perbuatan tidak menunjukan indikasi waktu untuk melakukannya. Dari uraian tersebut, melahirkan qaidah:
انّ الأمر المطلق المجرد عن القرائن لا يقتضي الفور بل الترخي[36]
Suatu perintah yang tidak ada indikasi untuk dilakukan segera maka bisa ditangguhkan.



-          Wajib Muaqqad, yaitu; kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan dilakukan diluar waktu yang sudah ditentukan.[37] Meminjam istilah Abdul Wahab Khalaf  yaitu:
ما طلب الشارع فعله حتما في وقت معين[38]
Seperti Shalat lima waktu; Pelaksanaannya dibatasi pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Maka tidak wajib melaksanakannya sebelum masuk waktu tersebut dan berdosa bila seorang mukallaf mengakhirkannya tanpa udzur. Begitu juga dengan puasa Ramadhan.
Wajib Muaqqad ini dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:[39]
a.      Wajib Muwassa’, yaitu kewaiban yang waktu untuk melaksanakannya melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Seperti, shalat dzuhur.[40]
b.      Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Seperti puasa Ramadhan.[41]
c.       Wajib dzu Syabhaini, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung sua sifat tersebut diatas. Seperti ibadah haji.[42]
2.      Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang dituntut
-          Wajib Mu’ayyan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh Syari’ suatu perbuatan yang sudah ditentukan, tanpa diberikan pilihan untuk melakukan yang lainnya.[43] Seperti shalat, puasa, zakat.
-          Wajib  Mukhayyar, sesuatu yang dituntut oleh Syari’ untuk dilaksanakan dengan memilih salah satu diantara hal yang ditentukan. Perintah tersebut telah terlaksana bila ia telah melakukan satu pilihan dari beberapa kemungkinan yang telah ditentukan. Seperti, Kafarah Sumpah.[44]
3.      Dari segi pelaksana
-          Wajib ‘Aini, yaitu tuntutan dari Syar’i untuk melaksanakannya pada setiap pribadi mukallaf.
-          Wajib Kifa’i/Kifayah, yaitu tuntutan dari Syar’i untuk melaksanakannya kepada sejumlah mukallaf dan tidak dari setiap pribadi mukallaf. Seperti melaksanakan ‘amr ma’ruf nahi munkar.
4.      Dari segi kadar yang dituntut
-          Wajib Muhaddad, yaitu sesuatu yang dinyatakan oleh Syari’ kewajiban dengan kadar yang telah ditentukan. Misalnya zakat fitrah.[45]
-          Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak ditentukan ukurannya oleh pembuat hukum (Syari’). Misalnya nafkah untuk kerabat.[46]

2.      Mandub dan Pembagiannya
Definisi Mandub (Sunnah)
Berarti sesuatu yang dianjurkan atau disenangi.[47] Mandub disebut juga dengan nafilah, tathawwu’, ihsan, dan mustahab.[48] Secara istilah mandub diartikan sesuatu yang dituntut Syari’ untuk dikerjakan melalui tuntutan yang tidak tegas.[49] Hal ini berarti bahwa apabila seseorang mengerjakan maka ia akan mendapatkan pahala sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapat sanksi.[50]
Adapun hukum pelaksanaan mandub/mustahab diberi pahala ketika ia melakukan. Maka melakukan hal tersebut lebih baik daripada meninggalkannya. Permasalahan yang terjadi pada bab ini adalah perbedaan pendapat mengenai menyempurnakan sesuatu yang sudah dimulai pada ranah Sunnah/Nafl. Imam Syafii’ mengatakan orang yang telah memulai perbuatan nafl dan ia belum menyempurnakannya tidak wajib untuk mengqadha hal tersebut. Berbeda halnya dengan ulama hanafiyah  yang mengatakan bahwa ketidakwajiban untuk melaksanakan perbuatan sunnah sebelum dimulai bukan berarti menjadi tidak wajib disempurnakan ketika perkara sunnah tersebut telah dimulai. Berdasarkan dalil Al-Qur’an:
يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول ولا تبطلواأعمالكم
Maka tatkala menyempurnakan adalah suatu hal yang wajib, mengqadha’ pun merupakan suatu hal yang mesti dilakukan ketika perkara Sunnah tersebut telah dilakukan.[51]
Pembagian Mandub
Perkara mandub dibagi tiga:[52]
a.       Suatu perbuatan yang apabila dilakukan maka menjadi penyempurna perkara yang wajib, perkara tersebut selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW dan  hampir tidak pernah ditinggalkan. seperti jama’ah, berkumur ketika berwudhu, membaca ayat al-Qur’an setelah fatihah dalam shalat. Hal ini disebut Sunnah muakkadah. Orang yang meninggalkannya dicela tapi tidak berdosa.
b.      Perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi untuk mendekatkan diri kepada Allah tapi Nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Hal ini disebut Sunnah ghairu muakkadah. Seperti memberikan sedeka kepada orang miskin.
c.       Perbuatan yang biasa dilakukan Rasulullah dilihat dari sisi kemanusiaan, seperti makan, minum. Hal ini dikatakan sebagai anjuran, etika dan keutamaan ketika mukallaf melakukan.
3.      Makruh dan Pembagiannya
Definisi Makruh
Menurut jumhur ahli ushul makruh adalah perkara yang dituntut oleh Syari’ terhadap mukallaf untuk meninggalkannya namun dengan cara tidak pasti.[53] Dari segi bentuk dan sifatnya, makruh dirumuskan;
ما يمدح تاركه ولا يذمّ تاركه
Sesuatu yang apabila ditinggalkan mendapat pujian dan apabila dikerjakan pelakunya mendapat celaan[54]
Pengaruh tuntutan ini terhadap perbuatan  yang dilarang disebut karahah, dan perbuatan yang dilarang secara tidak pasti disebut makruh. Dari segi larangan, sebenarnya makruh itu sama dengan haram; hanya larangan karahah ini tidak pasti.[55] Misalnya, larangan banyak bertanya sesuai sabda Nabi SAW:
انّ الله يكره لكم قيل وقال، وكثرة السؤال، واضاعة المال
Dalam surat al-Maidah: 101 Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman janag kamu banyak bertanya tentang sesuatu, bila dijelaskan kepadamu akan menyulitkan untukmu.
Dalam ayat ini Allah melarang seseorang untuk banyak bertanya. Ungkapan ini memberi petunjuk tidak pastinya larangan itu untuk menghasilkan hukum haram, namun hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak terpuji.[56]
Pembagian Makruh
Jumhur ulama tidak dikenal istilah makruh kecuali tuntutan untuk meninggalkan secara tidak pasti. Sedangkan golongan hanafiyah membagi makruh/karahah menjadi dua bagian:[57]
a.       Makruh Tahrim: tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang menunjukkannya bersifat dzanni. Makruh tahrim ini kebalikan dari fardhu dikalangan jumhur ulama. Seperti larangan memakai sutera bagi laki-laki.
b.      Makruh Tanzih: sesuatu yang dituntut Syari’ untuk ditinggalkan dengan tuntutan tidak pasti. Makruh tanzih pada istilah hanafiyah sama dengan makruh dikalangan jumhur ulama.
4.      Mubah dan Pembagiannya
Definisi Mubah
Mubah berarti diizinkan, boleh.[58] Ulama ushul mengemukakan definisi mubah yaitu sesuatu yang diserahkan Syari’ kepada mukallaf untuk melaksanakan atau tidak.[59]Dalam mubah terdapat kemashlahatan dan kemafsadatan secara berimbang, yang karenanya pemilihan untuk berbuat atau tidak diserahkan kpada mukallaf. Adapun lafadz yang semakna dengan mubah adalah halal, jaiz, muthlaq. Misalnya firman Allah SWT;
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya: Apabila kamu telah menunaikan shalat jum’at, maka bertebarlah di muka bumi.
Ahli ushul berbeda pendapat tentang status hukum mubah, jumhur ulama mengatakan mubah termasuk kategori hukum syar’i, karena ketetapan kebolehannya dating dari syara’. Sedangkan Al-Ka’bi (golongan mu’tazilah) memandang bahwa mubah bukan merupakan hukum syar’i, karena sebalum datangnya syari’at islam dan sesudahnya ternyata apa yang dikatakan mubah tidak mengalami perubahan, dan syara’ tidak menyinggungnya. Namun, mubah termasuk ma’mur bihi. Orang yang melaksanakan sesuatu yang mubah berarti meninggalkan yang haram. Meninggalkan yang haram itu wjib, karenanya meninggalkan yang mubah juga wajib.[60]


Pembagian Mubah
Para ulama ushul mengemukakakn tiga bentuk mubah dari segi keterkaitannya dengan mudharat dan manfaat. Yaitu:[61]
1.      Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudharat, sperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
2.      Mubah yang apabila dialkukan tidak ada mudharatnya, sedangkan perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Seperti: makan daging babi dalam keadaan darurat.
3.      Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudharat dan tidak boleh menurut syara’ tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Seperti mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus.
5.      Haram dan Pembagiannya
Defini Haram
Yaitu tuntutan untuk ditinggalkan dari Syari’ secara pasti dan mengikat dan apabila dilakukan menjadikan pelakunya dicela/berdosa.[62] Jumhur ulama tidak membedakan antara dalil hukum ditetapkannya keharaman tersebut baik berdasarkan hadis mutawatir, masyhur atau ahad. Sedangkan golongan hanafiyah menetapkan persyaratan keberlakuan keharaman berdasarkan dalil qhat’i.[63]
Pembagian Haram
1.      Haram zati, sesuatu yang disengaja oleh Allah mengharamkannya karena terdapat unsur merusak maqashid syari’ah.
2.       haram ‘ardhi, haram yang larangannya bukan karena zatnya. Seperti melihat aurat perempuan yang akan dapat memabawa kepada zina, bercanda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat membawa kepada murtad.[64]

D.    Fungsi al-Ahkam al-Khamsah
Di dalam kenyataan, perbedaan antara apa yang bisa ditegakkan di pengadilan dan apa yang tidak juga dapat dilihat dari komposisi sakral lima nilai yang sudah dikenal, yakni yang harus dilakukan (wajib, obligatory), yang dianjurkan (mandub, recommended), yang dihindari (makruh, disapproved), yang boleh (mubah, permissible) dan yang dilarang (haram, prohibited). Pemerintah yang sah memiliki kewenangan untuk menjadikan lima acuan/hukum tersebut untuk menegakkan hukum demi kepentingan publik (mashlahah) mengharuskannya.[65]
Lima penilaian yang disebut norma atau kaidah dalam ajaran Islam yang meliputi seluruh lingkungan hidup dan kehidupan. Maksud utama dari pembagian antara hal yang dianjurkan (mandub) dan hal yang dihindari (makruh) di satu sisi, dengan wajib dan haram di sisi lain, adalah untuk mengidentifikasi apa yang dapat ditegakkan secara hukum untuk memenuhi keperluan hidup manusia.[66]
PENUTUP
Al-Ahkam al- Khamsah (hukum taklifi) dalam ruang lingkup syariah mencerminkan seperangkat norma ilahi yang mengatur tata hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Al-Ahkam al-Khamsah dijadikan acuan/patokan dasar dalam menentutak baik dan buruk dan tidak dapat dipisahkan dengan iman dan kesusilaan atau akhlak islam.





DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1, Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 2007.
Wahab Khalaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Daar al-Hadits, 1423H/ 2003M.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I, Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1997.
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2013.
Syukri Albani Nasution, Muhammad. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Abdul Aziz, Amir. Ushul al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar as-Salam, 1418H/1997M
Ali, Zainuddin. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh (diterjemahkan dari Ushul al-Fiqh, oleh Saefullah Ma’shum, dkk), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Hasbillah, Ali. Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Daar al-Ma’arif, 1379H/1959M.
Ash-Shadr, Baqir Muhammad, dkk. Pengantar Ushul Fiqh Dan Ushul Fiqh Perbandingan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Azhary, M. Tahir.Bunga Rampai Hukum Islam: Sebuah Tulisan, Jakarta: Ind Hill-Co, 2003.
Syukri Albani Nasution, Muhammad. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Zahroh, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-‘Aroby, No. Thn.
al-Khudhori, Muhammad. Ushul al-Fiqh, Kairo: Daar al-Hadits, 1424H/2003M.
Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Anshary, Zakariya. Ghayah al-Wushul fi al-Syarh Lub al-Ushul Bab Muqaddimah, Mesir: Daar al-Kutub al-Islamy, No Thn.
Khan Nyazee, Imran Hasan. Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, Islamabad : Islamic Research Institute, 2009.
Hashim Kamali, Mohammad.  Membumikan Syariah (Shari‟ah Law: An Introduction), diterjemahkan oleh Miki Salman. Jakarta : Mizan, 2008.




[1]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 2007, Cet. ke-1, h. 5.
[2]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 282.
[3]Abdul Wahab Khalaf,  Ilmu Ushul Fiqh, Kairo : Daar al-Hadits, 1423H/ 2003M, h. 111.
[4]Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah:43 ((أقيموا الصلاة وآتوا الزّكوة dalam ayat ini Allah menggunakan lafadz Amr, menurut ahli ushul fiqh disebut dengan ijab; akibat yang ditimbulkan dalil ini disebut wujub, dan perbuatan yang dituntut disebut wajib. Istilah ijab  menurut ulama ushul fiqh terkait dengan khitab (tuntutan) Allah. Akan tetapi ulama fiqh tidak membedakan dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil, karena itu keduanya mereka sebut dengan wujub dan perbuatan itu sendiri mereka sebut wajib. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. ke-2, h. 210.
[5]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 210.
[6]Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 2013, h. 43.
[7]Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 44.
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 285.
[9]Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 82.
[10]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 207.
[11]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar as-Salam, 1418H/1997M, Cet. ke-1, h.39.
[12]Zainuddin Ali. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 54.
[13]Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh (diterjemahkan dari Ushul al-Fiqh, oleh Saefullah Ma’shum, dkk), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, h. 27. 
[14]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 283.
[15]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Daar al-Ma’arif, 1379H/1959M, Cet. ke-2, h.314.
[16]M. Baqir Ash-Shadr, Murthadha Muthahhari, Pengantar Ushul Fiqh Dan Ushul Fiqh Perbandingan, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993, h. 177.
[17]M. Tahir Azhary. Bunga Rampai Hukum Islam: Sebuah Tulisan, Jakarta: Ind Hill-Co, 2003, h.106.
[18]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 43.
[19]Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, h. 74. Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-‘Aroby, h. 28.
[20] Al-Muzammil ayat : 20
[21]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 286.
[22]Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, h. 149.
[23]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 211.
[24]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 288.
[25]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 44.
[26]Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, Daar al-Fikr al-‘Aroby, h. 29.
[27]Misal: firman Allah dalam QS. An-Nisa; 4: وءاتوا النساء صدقتهنّ نحلة lafadz amr tersebut menunjukan adanya kewajiban bagi para suami untuk memberikan mahar kepada para istrinya.
[28]Misal: perintah kewajiban shalat dalam Al-Qur’an ((أقيموا الصلاة وآتوا الزّكوة dijelaskan dalam keterangan ayat Al-Qur’an surat al-Ma’un: 4-5 (فويل للمصلّين الذين هم في صلاتهم ساهون) adanya celaan bagi orang-orang yang melalaikan shalatnya.
[29]Abdul Wahab Khalaf,  Ilmu Ushul Fiqh, h. 123.
[30]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, h.315.
[31]Muhamma al-Khudhori, Ushul al-Fiqh, Kairo: Daar al-Hadits, 1424H/2003M, h. 34. Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, h. 29.
[32]Zakariya ibn Muhammad ibn Ahmad al-Anshary, Ghayah al-Wushul fi al-Syarh Lub al-Ushul Bab Muqaddimah, Mesir: Daar al-Kutub al-Islamy, h.11.
[33]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 290.
[34]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 50.
[35]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 290.
[36]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 50.
[37]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 290.
[38]Abdul Wahab Khalaf,  Ilmu Ushul Fiqh, h. 123.
[39]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 291.
[40]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 292.
[41]Waktu pelaksanaan puasa tersebut selama satu bulan, dan tidak dapat dilakukan dibulan lain. Begitu juga pada bulan Ramadhan tidak bisa dilakukan puasa lain selain puasa Ramadhan. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 293.
[42]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 293.
[43]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 49.
[44]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 301.
[45]Kewajiban zakat fitrah atau zakat harta telah ditentukan kadarnya, dalam arti bila telah terpenuhi syarat-syarat wajib maka seseorang harus  melaksanakannya menurut ukuran yang ditentukan.
[46]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 301
[47]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, h. 232.
[48]Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, h. 39.
[49]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, h.318.
[50]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 305.
[51]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, h.319.
[52]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, h.319.
[53]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 246.
[54]Amir Abdul Aziz, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 69.
[55]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, h.321.
[56]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 315.
[57]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 316.
[58]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 249.
[59]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 317.
[60]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 254.
[61]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 257.
[62]Ali Hasbillah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, h.320.
[63] Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, h. 42.
[64]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, h. 310.
[65]Imran Hasan Khan Nyazee. Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, Islamabad : Islamic Research Institute, 2009, h. 57.
[66]Mohammad Hashim Kamali,  Membumikan Syariah (Shari‟ah Law: An Introduction), diterjemahkan oleh Miki Salman. Jakarta : Mizan, 2008, h. 62.

Komentar

Postingan Populer