Qawaid al- Ushuliyah al-Tasyri'iyah
قواعد
الأصولية التشريعية
)Kaidah Pokok
Pembentukan Hukum Islam(
oleh:
Siti Sholihatudz Dzikriyah
Kaidah pembentukan hukum islam ini, oleh para ulama ushul diambil
berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya, dan hikmah
(filsafat) pembentukannya. Diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan
dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya
secara keseluruhan. Seperti halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok
itu dalam meng-istinbath hukum dari nash-nash nya, maka wajib pula memelihara
dasar-dasar dan pokok – pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya
pembentukan hukum dapat menetralisir apa yang menjadi tujuan hukum dan dapat
menghantarkan kepada kemashlahatan manusia seta menegakkan keadilan diantara
mereka.[1]
Qaidah
Pertama : Tujuan Umum Pembentukan Syari’at (hukum Islam).
Tujuan umum pembentukan syari’at
dalam pembentukan hukumnya yaitu merealisasikan kemashlahatan manusia,
memberikan menfaat kepada mereka, dan menolak kemudharatan dengan menjamin
kebutuhan pokok ( dharuriyat), dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyat) serta
kebutuhan pelengkap (tahsiniyat)mereka.[2]
Jadi setiap hukum syara’ tidak ada tujuan kecuali salah satu
diantara tiga unsur tersebut, dimana tiga unsur tersebut dapat terbukti
memberikan kemashlahatan kepada manusia. Adapun tahsiniyah (kebutuhan
pelengkap) tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaannya terdapat
kerusakan bagi hajiyat (kebutuhan sekunder). Dan hajiyat dan tahsiniyat tidak
berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan
bagi Dharuriyat.
Kaidah pertama ini menjelaskan hukum syar’i dalam pembentukan hukum
syara’. Baik hukum itu bersifat taklifi (pembebanan yang wajib) atau wadh’I
(positif, buatan manusia), serta menjelaskan tingkatan-tingkatan hukum menurut
tujuannya. Adapun mengetahui tujuan umum syar’i dalam pembentukan hukumnya
adalah termasuk sesuatu yang amat penting untuk dijadikan alat penolong
mengetahui dengan jelas nash-nash pembentukan hukum itu. Dan untuk menerapkan
nash-nash itu terhadap berbagai peristiwa. Disamping itu juga untuk
mengistinbath hukum dalam peristiwa yang tidak ada nashnya. Karena, isyarat
lafal dan ungkapan pada makna terkadang mengandung beberapa segi, maka untuk
menguatkan salah satu diantara beberapa segi tersebut adalah dengan
memperhatikan tujuan syari’. Selain itu, sebagian nash terkadang saling
kontradiksi,maka untuk dapat menghilangakan kontradiksi ini dengan
mengkompromikan nash-nash tersebut atau menguatkan salah satunya dengan
memperhatikan tujuan syari’.[3]
Karena itu, para penguasa hukum dipemerintahan sekarang, meletakknan
catatan-catatan berupa penafsiran yang dapat menjelaskan tujuan pembuatan
undang-undang secara umum. Begitu juga nash-nash hukum syara’, tidak dapat
dimengerti menurut jalannya yang benar kecuali apabila telah diketahui tujuan
syar’I dalam mengisyaratkan hukum-hukum tersebut. juga telah diketahui
bagian-bagian peristiwa yang lantaran itu diturunkanlah hukum-hukum yang ada
didalam Al-Qur’an, atau yang dengan itulah dtang As-Sunnah. Tujuan umum syari’
itulah yang akan dijelaskan dalam kaidah ushuliyah yang pertama ini.[4]
Kebutuhan dharuri yaitu sesuatu yang menjadi pokok kebutuhan
kehidupan manusia dan wajib untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia itu.
Tanpa adanya sesuatu itu, maka akan terganggu keharmonisan kehidupan manusia
dan terjadilah kehancuran dan kerusakan bagi mereka. Hal-hal yang bersifat
primer bagi manusia dalam pengertian ini berpangkal pada memelihara lima
perkara yang diurutkan berdasarkan yang paling penting untuk dipelihara. Yaitu:
1.
Memelihara
agama; merupakan persatuan aqidah,ibadah,hukum dan undang-undang yang telah
disyari’atkan oleh Allah SWT. Islam telah mensyari’atkan kewajiban dan lima
hukum fundamental yang merupakan sendi islam. Yaitu rukun islam.
2.
Memelihara
jiwa; untuk mewujudkan jiwa islam mensyariatkan perkawinan untuk melangsungkan
keturunan. Lalu untuk memeliharanya dan menjaga kelangsungan hidup islam
mensyariatkan kewajiban memperoleh sesuatu yang dapat menegakkan jiwa itu
berupa makanan pokok, minuman,pakaian, dan tempat tinggal. juga mensyariatkan
hukum qishos, diyat kafarat, mengharamkan menggunakan jiwa untuk kerusakan, dan
juga mewajibkan mempertahankan jiwa dari bahaya.
3.
Memelihara akal
; untuk memelihara akal islam mesyariatkan keharaman khorm dan setiap yang memabukkan
atau jenis apapun yang dapat merusak akal.
4.
Memelihara
kehormatan ; islam mensyariatkan had bagi lelaki atau perempuan yang
berzina,juga had bagi al-qodzif.
5.
Memelihara
harta ; islam mensyariatkan haramnya pencurian, memberi hukuman had kepada
pencuri, mengharamkan penipuan, khianat, memakan dan merusak harta manusia
secara batil, dan menharamkan riba.[5]
Sebagai bukti atas tujuan ini, ialah sesuatu yang membarengi
hukum-hukum itu berupa ‘illat dan hikmah pembetukan hukum. Seperti firman Allah
SWT. dalam hal mewajibkan jihad :
وقاتلوهم حتى لاتكون فتنة ويكون الدين لله (
الأنفال : 39)
“dan perangilah mereka
supaya jangan ada fitnah, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah”.
Firman Allah SWT. dalam mewajibkan qishas :
ولكم في القصاص حياة (البقرة : 189)
“Dan
dalam qishosh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu”.
Berdasarkan kaidah-kaidah ini, dibuatlah prinsip-prinsip hukum
syara’ secara khusus dengan menolak
bahaya dan kesempitan.[6]
Ø Adapun kaidah tentang menolak bahaya bersumber dari hadis nabi
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”
Dan dari kaidah tersebut
bercabang kaidah-kaidah lainnya, seperti di bawah ini :
1.
الضرر يدفع قدر الإمكان
Yaitu kewajiban mencegah datangnya bahaya sebelum hal itu terjadi
dengan berbagai cara yang dia bisa. Seperti untuk mencegah kerusakan dengan
disyariatkannya jihad untuk mencegah terjadinya kesewenangan-wenangan musuh,
menjaga keamanan nasional, membuat peraturan tentang pelanggaran kejahatan.
Ketetapan hak suffah bagi sekutu dan tetangga.[7]
2.
الضرر يزال
Bahaya itu harus dihilangkan. Seperti memotong dahan pohon yang
menggantung ke pekarangan rumah tetangga, kewajiban berobat saat sakit,
ketetapan hak khiyar bagi pembeli untuk mengembalikan benda yang dibeli jika
terdapat cacat.[8]
3.
الشرر لايزال بمثله أي بالضرر
Bahaya itu tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya. Misalnya, tidak
boleh memelihara hartanya dengan merusak harta orang lain, dan tidak boleh
seseorang dalam keadaaan terpaksa memakan makanan orang lain yang dalam keadaan
terpaksa juga.[9]
4.
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
Misalnya, bolehnya membelah perut perempuan hamil yang telah mati
untuk mengeluarkan janin jika masih bisa diharapkan hidupnya sang janin, boleh
tidak bersaksi jika dengan bersaksi menyebabkan terjadinya sesuatu yang lebih berbahaya.[10]
5.
يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر الخاص
Misalnya, tangan pencuri boleh dipotong demi mengamankan harta
manusia, pembunuh boleh dibunuh demi mengamankan jiwa manusia, makanan bisa
dijual dengan paksa jika pemilik menimbun makanannya sedangkan orang lain
sangat butuh, barang orang yang berhutang boleh dijual secara paksa jika dia
menolak membayar hutangnya.[11]
6.
درء المفاسد أولى من جلب المنافع
Misalnya, tidak boleh jual beli khamr dan sejenisnya meskipun
dengan menjualnya dapat banyak keuntungan, tidak boleh menggunakan sesuatu
meskipun miliknya sendiri jika hal tersebut membahayakan tetangganya, makruh
hukumnya bagi orang yang berpuasa berlebihan dalam berkumur-kumur baik dengan
hidung atau mulut.[12]
7.
الضرورات تبيح المحظورات
Orang kelaparan boleh memakan bangkai jika dalam keadaan terdesak,
boleh mengambil uang dari harta orang yang berhutang tanpa seizinnya jika dia
menolak membayar, dokter boleh membuka aurat pasien jika di bagian tersebut
letak yang harus diobati/dioprasi.
8.
الضرر تقدر بقدرها
Maka orang dalam keadaan terdesak sekalipun tidak boleh memperoleh
sesuatu yang haram kecuali sekedar bisa mengeluarkannya dari keadaan terdesak,
najis tidak ditolerir kecuali batas dimana dia sulit untuk menghindari dari
najis tersebut, dokter boleh membuka aurat pasien sekedar yang dibutuhkan untuk pengobatan saja,
rukhshah batal jika hilang sebab-sebab rukhshahnya seperti ada air bagi orang
yang tayammum.
Ø Adapun kaidah-kaidah dasar tentang menghilangkan kesulitan,
sebagaimana firman Allah SWT.
߉ƒÌムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£‰Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4†n?tã $tB öNä31y‰yd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3ø‹n=tæ ’Îû ÈûïÏd‰9$# ô`ÏB 8ltym 4 ÇÐÑÈ
dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Dengan dasar dalil tersebut bercabang kaidah-kaidah di bawah ini:
1.
المشقة تجلب التيسير
Masyaqoh adalah kesulitan yang keluar dari kebiasaan umum, yang
sebenarnya bisa dikerjakan oleh manusia,hanya saja kalau dikerjakan itu
dipaksakan dan akan menimbulkan kesulitan dan keberatan.
Sebab-sebab keringanan itu ada tujuh ;
a.
Bepergian.
Contoh : Bolehnya qhosor dan iftor dalam bepergian yang mencapai dua marhalah.
b.
Sakit. Contoh ;
boleh ifthor dan tayammum saat puasa ramadhan.
c.
Lupa.contoh ;
orang yang lupa makan waktu puasa
d.
Paksaan.
Contoh: dipaksa mengatakan kalimat kufur, dan dipaksa meminum khamr.
e.
Tidak
mengerti hukum. Contoh: makan di waktu
shalat dan puasa karena tidak mengerti dan jauh dari ulama
f.
Yang sulit
dihindari karna sering terjadi. Seperti : shalat dengan najis yang dima’fu,
contoh: bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, perutnya ikan kecil dengan
syarat ikan tersebut besarnya kurang dari dua jari.
g.
Kurangnya akal
atau umur. Contoh ; orang gila dan anak kecil tidak kena taklif.[13]
2.
الجرح مرفوع شرعا
Misalnya,
menentukan arah kiblat cukup dengan perkiraan jika dalam keadaan sulit menentukan arah kiblat, begitu juga
menentukan tempat suci dan air.
3.
الحاجة تنزل منزلة الضرورة،
عامة كانت أو خاصة
Sebenarnya dharurat lebih mendesak untuk dipenuhi dari pada hajat.
Karna dharurat adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan membahayakan atau
membawa kehancuran pada diri, sedangkan hajat adalah sesuatu yang jika tidak
dipenuhi akan mendatangkan kesulitan dan kesusahan. Akan tetapi hajat yang
telah merata maka hukumnya seperti dhorurot.. Baik kebutuhan umum
(mencakup kebutuhan seluruh umat) atau khusus (sekelompok ahlu balad).
Contoh, diperbolehkan melihat wanita yang bukan mahrom bagi laki-laki dalam
muamalah, mengajar, dan semisalnya, disyariatkan hiwalah, ju’alah, ijaroh sebab
hajat yang telah merata maka hukumnya seperti dhorurot.[14]
Qaidah
Kedua : Hak Allah dan Hak Mukallaf
Perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’at, jika
tujuan perbuatan tersebut adalah untuk kepentingan masyarakat secara umum, maka
hukum perbuatan itu adalah murni hak Allah. pelaksanaannya dipertanggung jawabkan
oleh walliyul amri (penguasa pemerintah). Jika tujuannya adalah untuk
kepentingan mukallaf secara khusus, maka hukumnya adalah murni hak mukallaf.
Kaidah pembentukan hukum yang kedua ini mengandung pengertian bahwa maslaha
yang menjadi tujuan pensyari’atan hukum untuk direalisasikan, kadang berupa
masalah khusus bagi individu, dan kadang berupa mashalahah bagi keduanya
sekaligus.[15]
Adapun yang dimaksud hak Allah yaitu hak masyarakat yang hukumnya
disyari’atkan bagi kepentingan umum, bukan kepentingan individu secara khusus.
Karena, hak itu termasuk tatanan yang umum dan tidak dimaksudnkan untuk memberi
keuntungan kepada individu secara khusus, maka hak tersebut dinisbatkan kepada
Tuhan. Sedangkan hak mukallaf ialah hak individu yang hukumnya disyari’atkan
untuk kepentingannya secara khusus. Menurut penelitian, perbuatan mukallaf yang
berhubngan dengan hukum syara’ diantaranya ada yang murni hak Allah, ada yang
murni hak mukallaf, ada yang berupa perpaduan dua hak, dimana dimenangkan hak
Allah, dan ada yang berupa perpaduan hak dimana hak mukallaf dimenangkan.[16]
Adapun hak murni bagi Allah sebagai berikut :[17]
1.
Ibadah mahdhah
(murni), seperti; shalat, puasa, zakat dan haji. Juga iman dan islam yang
merupakan titik tolak daripada ibadah lainnya. Adapun tujuannya adalah untuk
menegakkan agama yang merupakan kepentingan bagi ketertiban masyarakat. Hikmah mensyari’atkan setiap ibadah itu
diantaranya ialah untuk kepentingan umum, bukan kepentingan mukallaf secara
pribadi.
2.
Ibadah yang
mengandung pengertian kesejahteraan; seperti zakat fitrah, adalah termasuk
ibadah dan sarana mendekatkan diri kepada Allah lantaran bersedekah kepada
fakir miskin. Selain itu didalamnya terkandung pajak jiwa demi kekekalan dan
keterpeliharaan jiwa tersebut. Karena itu, mayoritas ulama mujtahid mengatakan
zakat itu wajib atas seseorang yang tidak mempunyai kecakapan, seperti anak
kecil. Ibadah ini tidak wajib atas
manusia seorang saja, namun juga atas keluarganya yang ada pada kekuasaannya.
3.
Pungutan yang
ditetapkan terhadap tanah pertanian, baik pungutan itu berupa penghasilan persepuluhan
atau berdasarkan pajak. Karena tujuan pungutan ini ialah mengelola
pertanian demi kepentingan umum yang menjadi tujuan kelestarian bumi bagi para
pemiliknya, dan berusaha membuahkan hasil bumi itu, seperti membangun irigasi,
dan memeliharanya dari ancaman kerusakan, menolong fakir miskin, dan hal lain
yang dituntut oleh kepentingan umum dan stabilitas keamanan sosial. Para ulama
ushul mengatakan bahwa pungutan pertnian dengan sepersepuluh itu sebagai
kesejahteraan yang didalamnya terkandung pengertian ibadah.
4.
Beberapa bentuk
pungutan yang ditentukan dalam harta rampasan perang, dan yang didalam perut
bumi berupa harta dan tambang. Syar’i menjadika 4/5 harta rampasan untuk para
angkatan perang dan 1/5nya untuk kepentingan umum.
5.
Macam-macam
hukuman yang sempurna, yaitu pidana zina, pidana pencurian, pidana para
pembangkang yang memerangi ajaran Allah dan Rasul-Nya serta membuat
kerusakan/kekacauan diatas bumi. Hukuman itu demi kemaslahatan masyarakat
seluruhnya.
6.
Macam hukuman
yang terbatas. Yaitu terhalangnya si pembunuh dalam mendapatkan harta waris.
Dalam hukuman macam ini adalah hak Allah, karena didalamnya tidak terkandung
keuntungan bagi yang dibunuh.
7.
Beberapa
hukuman yang didalamnya terkandung pengertian ibadah. Seperti; kafarat bagi
orang yang melanggar sumpahnya, kafarat bagi orang yang yang tidak berpuasa
pada bulan rmadhan dengan sengaja, dan kafarat bagi orang yang membunuh karena
keliru/tidak sengaja, atau suami yang menzihar istriny. Semua itu adalah
hukuman itu wajib sebagai pembalasan atas maksiat. Semuanya, adalah hak murni
bagi Allah.
Adapun sesuatu yang menjadi hak murni bagi mukallaf, contohnya
seperti menanggung orang yang merusak harta dengan sebandingnya atau dengan
nilai harganya, yang itu adalah hak murni bagi pemilik harta Jika ia
menghendaki. Menahan benda yang digadaikan adalah hak murni bagi sipenerima
gadai. Menagih hutang adala hak murni bagi orang yang menghutangkan. Jadi
syar’i menetapkan hak-hak ini kepada orang-orang yang menyerahkan hak-hak itu.[18]
Sedangkan sesuatu dimana hak Allah dimenangkan ialah pada masalah
pidana tuduhan berzina. Karena, dari segi bahwa pidana itu memelihara
kehormatan manusia, dan mencegah permusuhan serta pembunuhan adalah berarti ia
merealisir maslahah umum. Maka ia termasuk hak Allah. tapi dari segi bahwa
pidana itu mempertahankan aib dari wanita terhormat (sudah punya suami) yang
dituduh, serta menampakkan kemualiaan dan kehormatan adalah berarti merealisir
maslahah pribadi, dengan demikian pidana itu adalah hak individu. Namun hak
Allah dimenangkan pada masalah ini. Karenanya wanita yang dituduh berzina tidak
dapat menggugurkan pidana dari si penuduhnya. Dan yang berhak melaksanakan
pidana tersebut adalah pemerintah, tidak dapat dilaksanakan dengan sendirinya.
Sedangkan sesuatu dimana hak mukallaf dimenangkan ialah terkait
dengan hukum qishosh terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja. Karena, hukum
qishos itu dari segi bahwa dalam pelaksanaannya terkandung pengertian
menyelamatkan kehidupan manusia, berarti hukum qishas itu juga merealisir
kepentingan umum. Dan dari segi bahwa dalam pelaksanaan hukm qishosh itu terkandung
pengertian menyembuhkan / menghibur hati kerabat terbunuh, adalah berarti
merealisir kepentingan individu. Namun, yang dimenangkan adalah segi yang
kedua. Karenanya wali terbunuh boleh memberi maaf, sehingga si pembunuh tidak
mendapat hukum qishosh. Pembunuh tidak akan mendapat hukum qishosh kecuali atas
dasar tuntutan si wali terbunuh. Sebagaimana firman Allah :
$pkš‰r'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
|=ÏGä.
ãNä3ø‹n=tæ
ÞÉ$|ÁÉ)ø9$#
’Îû
‘n=÷Fs)ø9$#
( ”çtø:$#
Ìhçtø:$$Î/
߉ö6yèø9$#ur
ωö7yèø9$$Î/
4Ós\RW{$#ur
4Ós\RW{$$Î/
4 ô`yJsù
u’Å"ãã
¼ã&s!
ô`ÏB
ÏmŠÅzr&
ÖäóÓx«
7í$t6Ïo?$$sù
Å$rã÷èyJø9$$Î/
íä!#yŠr&ur
Ïmø‹s9Î)
9`»|¡ômÎ*Î/
3
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
Qaidah Ketiga : Masalah – masalah yang boleh
di-Ijtihadi
Ijtihad menurut istilah ulama ushul ialah mencurahkan daya
kemampuan untuk menghasilan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara
terperinci. Ulama ushul meletakkan qaidah mengenai maslah ijtihad, “Tidak boleh
melakukan ijtihad dalam masalah yang sudah ada nasnya secara pasti.” seperti ;
pengucapan syahadat, kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji,
keharaman zina, mencuri, minum khamr, membunuh dan akibatnya yang telah
ditentukan oleh syara’.[19]
Adapun pedoman yang dapat menunjukkan seorang mujtahid dalam
ijtihadnya, ialah kaidah – kaidah pokok bahasa, tujuan syari’ sera
prinsip-prinsipnya yang umum, dan beberapa nashnya yang dapat menjelaskan
hukum. Dengan demikian seorang mujtahid dapat sampai pada tingkatan bahwa nash
itu dapat atau tidak bisa diterapkan dalam suatu peristiwa tertentu.
Kesimpulannya; bahwa lapangan ijtihad itu ada dua hal; sesuatu yang tidak ada
nashnya sama sekali, dan seusatu yang ada nashnya namun masih bersifat dzanni.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan :
1.
Ijtihad tidak
bisa dikelompok-kelompokkan, artinya seseorang tidak bisa dianggap sebagai
mujtahid kecuali apabila mempunyai pengetahuan yang sempurna terhadap hukum
Al-Qur’an dan Sunnah sehingga dapat membandingkan sebagian hukum kepada
sebagian yang lain, dan dari prinsip hukum yang umum dapat melakukan penemuan hukum yang benar.
2.
Seorang
mujtahid diberi pahala bila ijtihadnya benar 2 pahala, dan satu pahala jika
salah.
3.
Ijtihad tidak
dapat dibatalkan oleh ijtihad lain yang sejenis. Karena membatalkan suatu
ijtihad dengan ijtihad lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum.
Qaidah Keempat : Tentang Menaskh
Hukum
“Tidak ada naskh (penghapusan) terhadap hukum syara’ yang ada
didalam Al-Qur’an atau As-Sunnah stelah wafat Rasulullah SAW.” karena naskh
tidak diketahui kecuali dengan adanya wahyu.
Naskh menurut istilah ulama ushul ialah membatalkan pelaksanaan
hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan penghapusannya
secara jelas atau implisit (dhimni). Baik penghapusan itu secara keseluruhan
atau sebagian, menurut kepentingan yang ada. Atau melahirkan dalil yang datang
kemudian yang secara implisit menghapus dalil yang lebih dulu.
A.
Hikmah Naskh
Naskh dapat terjadi pada undang-undang Tuhan, dan dalam
undang-undang manusia. Karena tujuan setiap undang-undang itu adalah merealisir
kepentingan manusia. Sedangkan kepentingan manusia kadang berubah lantaran
perubahan keadaan mereka. Dan hukum, kadang disyariatkan untuk merealisir
kepentingan yang didorong oleh beberapa sebab. Maka apaia sebab itu telah
tiada, berarti sudah tidak ada mashlahah untuk tetapnya hukum itu. Seperti
tercatat dalam sejarah bahwa sekelompok delegasi umat islam datang ke kota Madinah
pada hari-hariraya Korban (Idul Adha). Kemudian Rasulullah SAW menginginkan
agar mereka agar mereka berbuat kemakmuran diantara saudara muslim. Maka kaum
muslim melarang menyimpan daging-daging kurban, sampai para delegasi itu
menerima bagian daging kurban. Setelah para delegasi itu meninggalkan kota
madinah Rasulullah memperbolehkan kaum muslimin menyimpan daging korban. Hukum
minuman khamr, dan Peraturan mewariskan harta pusaka.
Macam-macam Naskh :[20]
1.
Naskh Kulli :
jika syar’i membatalkan hukum yang telah disyaratkan sebelumnya secara kully
dengan melibatkan setiap individu mukallaf, sebagaimana syar’i membatalkan
mewajibkan wasiat kepada orang tua dan kerabat dengan mensyariatkan hukum
pembagian harta waris dan melarang wasiat bagi ahli waris.
2.
Naskh Juz’i :
jika disyariatkan hukum yang umum yang mencakup setiap individu mukallaf.
Kemudian hukum ini dibatalkan dengan melibatkan sebagian individu itu. Atau
disyari’atkan hukum yang mutlak, kemudia hukum mutlak ini dibatalkan dengan
melibatkan sebagian keadaan. Seperti, menuduh wanita berzina tanpa bukti.
Qaidah Kelima : Ta’arudh dan Tarjih
Ulama ushul mengatakan “ apabila zhahir (formil) dua nash
bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan
data dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar. Jika tidak
mungkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan
cara tarjih. Jika diketahui sejarahnya maka yang datang kemudian adalah sebagai
penghapus terhadap yang lebih dulu. Dan jika tidak diketahui sejarah
kedatangannya, maka ditangguhkan pengamalan dua nash itu.[21]
Contoh :
1.
Masalah iddah
perempuan hamil dan ditinggal mati oleh suaminya
2.
Masalah harta
warisan
Sebagian ulama ushul dalam menkompromikan atau menguatkan beberapa
nash dan qiyas yang saling kontradiksi menggunakan cara-cara yang dibuat
mereka, yang oleh mereka ditetapkan prinsip-prinsip pentarjihan secara umum.[22]
[1] Abdul Wahhab
Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung : Penerbit Risalah) h.135
[2] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus : Daar al-Fikr, 1995) h,
217
[3] Abdul Wahhab
Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, h. 135.
[4] Abdul Wahhab
Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, h. 136
[5] Jasir Audah, Maqashid
Al-Syariah, (Beirut : Maktab Al-Tauzi’ Fi Al-‘Alam Al-‘Arabi, 1432 H-2011
M) cet. 1, h.17
[6] Abdul Wahhab
Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, h. 141
[7] Wahbah Zuhaily,
al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h. 227
[8] Yahya Khusnan
Mansyur, Qowaid Fiqhiyah, ( Jombang ; pustaka al-muhibbin, 1430 H-2009
M) h. 81
[9] Wahbah Zuhaily,
al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h. 227
[10] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h, 227
[11] Abdul Wahhab
Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, h, 150
[12] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h, 228
[13] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h, 229-230
[14] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h. 229-230.
[15] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h.231.
[16] Abdul Wahhab
Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Hadis, 1423h/2003), h. 243.
[17] Abdul Wahhab
Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 244.
[18] Abdul Wahhab
Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 247.
[19] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h.231-232.
[20] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h.240.
[21] Wahbah
Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, h.243.
[22] Abdul Wahhab
Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 266.
Komentar
Posting Komentar