Perbandingan Metode Kritik Ahli Hadis dengan Sejarah
BAB I
PENDAHULUAN
Kritik hadis
merupakan suatu ilmu yang tidak bisa terlepaskan dalam kehidupan masyarakat
apalagi dalam dunia akademisi. Dalam kajian hadis ini sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh para ulama, serta pengkaji hadis bahwa hadis itu tidak akan
terlepas dari kedua peran ini, yaitu peran sebuah sanad[1]
dan matan hadis.[2]
Di samping itu pula kritik hadis sangat diperlukan untuk menentukan otentisitas
sebuah hadis. Ada dua aspek yang sangat urgen sekali bahwa kajian hadis yang
paling penting adalah keotentikan dan hujjah hadis.
Untuk mengetahui
otensititas hadis, rawi-rawi yang mentransmisikan hadis itu perlu diteliti satu
per satu. Apakah antara rawi pertama sampai rawi terakhir (kolektror hadis)
terdapat kesambungan sanad (Ittishal as-Sanad), dimana rawi pertama
pernah bertemu dengan rawi kedua, rawi kedua pernah bertemu dengan rawi ketiga,
dan begitulah seterusnya sampai rawi terakhir. Apakah masing-masing rawi
memiliki kredibilitas sebagai periwayat atau transmiter hadis, di mana dalam
disiplin ilmu hadis dikenal dengan ‘adalah al-Rawi.[3]
Apakah masing-masing rawi kuat ingatannya, tidak mudah lupa, linglung dan
sebagainya.[4]
I.
LATAR BELAKANG
Penelitian
hadis merupakan kegiatan ilmiah untuk membuktikan kebenaran suatu berita dan
bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Umat Islam
sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik dipakai sebagai penetapan suatu
pengetahuan atau pengambilan suatu dalil (dasar hukum). Apa lagi jika hal
tersebut berkaitan dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW., -ucapan, perbuatan,
dan ketetapan yang disandarkan kepada beliau-. Usaha ini hanya mempunyai satu
tujuan, yaitu mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW., dengan berjalan di atas
sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridlaan Allah SWT. dan mendapatkan
kecintaannya.
Sudah sejak
lama para pendahulu kita berusaha memelihara peninggalan Nabi ini, dan
menjaganya dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak
dilakukan oleh berbagai kalangan.[5]
Usaha pemeliharaan pusaka Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan pembukuan
secara umum tentang hadis dan secara terus menerus diadakan penelitian melalui
proses yang sangat ketat berdasarkan metodologi dan standar yang diciptakan
secara sendiri-sendiri oleh masing-masing peneliti.[6]
Hasil usaha para ulama peneliti hadis di atas, antara lain adalah penetapan
lima persyaratan keshahihan hadis Nabi; tiga berkenaan dengan sanad dan dua
berkenaan dengan matan. Lima kaidah keshahihan hadis itu adalah:
1.
Sanadnya bersambung.
2.
Seluruh periwayatan dalam sanad bersifat
adil.
3.
Seluruh periwayat dalam sanad
bersifat dhabith.
4.
Terhindar dari syadz (kejanggalan).
5.
Terhindar dari illat (cacat)[7]
Ada empat hal
yang mendorong dan melatarbelakangi penulisan makalah ini dilakukan, yaitu :
a.
Mengingat kedudukan kualitas hadis
erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadis dijadikan sebagai
hujjah atau dalil agama. Dengan demikian penelusuran secara historis sesuatu
yang dikatakan sebagai hadis Nabi itu, apakah benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan tingkat validitas dan akurasinya berasal dari Nabi
Muhammad SAW. Kajian hadis dengan pendekatan historis menjadi sangat penting
karena usaha penghimpunan hadis baru dilakukan sekitar satu abad setelah
wafatnya Nabi SAW sebagai sumber utamanya. Dalam tenggang waktu yang cukup
panjang ini, sangat mungkin ada usaha-usaha, baik sengaja atau tidak, yang
dapat mempengaruhi tingkat akurasi dan validitas riwayatnya. Hal ini bisa
dilihat dari realitas keanekaragaman redaksi matan yang terhimpun dalam
berbagai macam koleksi hadis yang juga banyak dan beraneka ragam. Kadang justru
antara satu dengan lainnya terdapat hadis tentang suatu hal yang sama tetapi
berbeda redaksi dan justru kandungan isinya juga bertentangan.
b.
Sebagaimana menurut ulama hadis,
suatu hadis yang sanadnya sahih, tidak dengan sendirinya maka hadis itu juga
berkualitas sahih.[8]
Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya penyebab perbedaan
kualitas itu. Apakah kaedah keshahihan sanad hadis (lima syarat) masih belum
akurat atau ada sebab-sebab yang lain, misalnya peluang dominan riwayat
bil-makna atau peran hadis yang bersifat duniawi.
c.
Mengingat keadaan keshahihan sanad
hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan
kualitas suatu hadis maka keadaan tersebut perlu ditelaah secara kritis.[9]
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh para ulama Mutaqaddimin, yang
menyatakan bahwa sanad menduduki posisi strategis dalam kualitas hadis, juga
dikatakan sebagai bagian dari agama. Kajian ini diharapkan bisa dapat diketahui
relevansinya antar unsur-unsur yang terdapat dalam kaedah tersebut, sehingga
dibuat sebagai acuan untuk menentukan keshahihan hadis, baik dari segi sanad
atau matannya.
d.
Melihat kenyataan hadis nabi di
satu sisi merupakan fakta sejarah, dan dalam ilmu sejarah telah dikenal adanya
kritik sumber, maka kaedah kesahihan sanad hadis perlu dikaji melalui
pendekatan ilmu sejarah.
Berdasar latar
belakang di atas, kajian ini diharapkan dapat dibuktikan tingkat akurasi antara
metode kritik disisi ahli hadis dan ahli sejarah. Jika hal ini bisa terjadi,
maka penelusuran berikutnya diarahkan pada faktor-faktor lain yang menyebabkan
terjadinya perbedaan kualitas sanad dan kualitas matan suatu hadis tertentu.
Dan apabila kaedah keshahihan hadis itu sejalan dengan kritik sumber yang
dikenal ilmu sejarah, maka kaedah tersebut merupakan suatu metode ilmiah yang
perlu dikembangkan dalam kajian hadis.
Sebelumnya
penulis ingin menjelaskan mengenai beberapa Pendekatan dalam melakukan kritik hadis, diantaranya:
a.
Pendekatan
Melalui Al-Qur’an
Penelitian dengan penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman
bahwa Al-Qur’an adalah sebagai sumber pertama dan utama dalam islam untuk
melaksanakan berbagai ajaran, baik yang usul maupun furu’,[10]
maka Al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan
bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an haruslah ditinggalkan
sekalipun sanadnya shahih.
Hadis yang dapat dibandingkan dengan Al-Qur’an hanyalah hadis yang
sudah dipastikan keshahihannya, baik dari segi sanad maupun dari matan. Oleh
karena itu, menurut Al Syafi’i tidak mungkin hadis bertentangan dengan
Al-Qur’an.[11]
Adapun cara yang ditempuh untuk meloloskan matan hadis yang
kelihatannya bertentangan dengan Al-Qur’an adalah dengan mentakwil atau
menerapkan ilmu mukhtalif al-hadits. [12]
b.
Pendekatan Rasio Dan Akal
Mengingat keterkaitan antara keduanya (Rasio dan Sejarah) bahwa Sebelumnya
para ahli hadis telah menggunakan pendekatan Rasional dalam memahami sebuah
perkara. Bahkan Rasio sangat dibutuhkan sekali dan bisa dijadikan hujjah. Peran
rasio ini melihat bahwa apakah kejadian ini benar adanya atau tidak? Sebatas
apa rasio itu dalam memahami sebuah teks yang qath’i al-Wurud, Qath’i
ad-Dilalah dan Dzanny?
Adapun yang terkait dengan Qath’i al-Wurud itu nash atau
teks yang benar-benar datang dari Allah SWT seperti perintah shalat yang telah
banyak difirmankan oleh Allah dalam al-Quran. Akan tetapi perintah tersebut
dijelaskan tata cara dan waktunya dideskripsikan dalam hadis Nabi. Sebagaimana
Nabi bersabda:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ
اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَامِدٍ
الْمُقْرِئُ، قَالاَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ
بْنِ سِيرِينَ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدَ، عَنْ عَامِرٍ، عَنْ
مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: إِنَّ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ،
فَلَمَّا قَدِمَ نَبِيُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَاطْمَأَنَّ،
زَادَ رَكْعَتَيْنِ غَيْرَ الْمَغْرِبِ لأَنَّهَا وِتْرٌ، وَصَلاةُ الْغَدَاةِ
لِطُولِ قِرَاءَتِهَا، قَالَتْ: وَكَانَ إِذَا سَافَرَ صَلَّى صَلاتَهُ الأُولَى[13]
Dalam kajian Qath’i al-Wurud ini peran akal tidak bisa
seenaknya saja dalam menginterpretasi sebuah teks tersebut. Akal berperan dalam
teks al-Quran yang bersifat dzanniy saja. Perlu diketahui pula bahwa
al-Qur’an juga tidak semuanya bersifat Qath’i.
Definisi ini ada yang menafsirkan bahwa bacalah bukan hanya terikat
pada makna itu saja. Akan tetapi, banyak yang menafsirkan manusia diciptakan
untuk berfikir, meneliti, memahami, merenung, belajar dan lain sebagainya.
c.
Pendekatan
Sejarah.
Dalam hal ini, penulis akan membahas Metode Kritik Hadis melalui
pendekatan sejarah lebih dalam pada bab II, apakah sama kedudukan metode ahli
hadis dan sejarawan? Muhammad al-A’zami menjawab bahwa metode keduanya
sangatlah berbeda sekali sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing; sehingga
dapat ditemukan apakah metode penelitian hadis lebih kuat dan lebih sukar
dibandingkan dengan metode sejarah. Dan apakah metode kritik sejarah dapat
digunakan dalam mengkritisi keabsahan sebuah hadis.
Termasuk hal
yang menunjukkan kebatilan adalah keberadaan hadist yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW yang bertentangan dengan akal, indra atau sejarah.
Ini adalah perkara yang tidak di perselisihkan, karena sang pembawa risalah
Ilahiyah yang merupakan utusan tuhan semesta alam tidak keluar darinya sesuatu
yang bertentangan dengan hukum akal sehat, kenyataan yang dapat diraba, ataupun
kebenaran sejarah.[14]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kritik Dalam
Perspektif Ahli Sejarah
Dalam ilmu sejarah dikatakan " إذا ضاعت الأصول ضاع التاريخ
"
yakni jika suatu asas telah hilang, maka hilanglah sejarah. Adapun yang
dimaksud “asas” dikalangan ahli sejarah adalah seluruh bekas peninggalan yang
ditinggalkan oleh ulama salaf.[15]
Asad Rustam memberikan contoh mengenai hal
tersebut bahwa semua sumber dan surat-surat yang terdapat pada Muhammad
Basha merupakan peninggalan sejarah pada masanya. Begitu juga seluruh
barang peninggalan baik senjata, tulisan, kitab dan lain sebagainya merupakan
“ushul” atau peninggalan menurut kalangan ahli sejarah. Adapun
peninggalan-peninggalan tersebut terkadang memiliki perbedaan baik dari segi
warna, rupa maupun isyarat yang dapat menunjukkan kebenaran sejarah. Oleh
karena itu, para ahli sejarah menentukan beberapa langkah dalam mengumpulkan
elemen- elemen (ushul) dalam menulis sejarah.
Adapun langkah-langkah yang digunakan oleh
ahli sejarah dalam mengumpulkan bukti-bukti dalam menulis sejarah yaitu :
1.
Mengumpulkan semua
bahan pokok atau bukti-bukti yang memungkinkan untuk dikaji secara keseluruhan,
yaitu studi keabsahan sejarah.
2.
Setelah
dikumpulkan dan dikritisi, mereka mencoba untuk menganalisis dan menetapkan kebenaran (keshahihan) nya;
yaitu uji validitas sejarah.
Langkah pertama yang harus
dilakukan dalam mengkritisi dasar-dasar
sejarah adalah menetapkan keasliannya.
Karena jika bukti atau sumber tersebut tidak asli atau dengan kata lain palsu,
maka tidak mugkin kita mengambil bahan darinya.
Setelah diteliti dan ditetapkan bahwa sumber
tersebut ternyata tidak terdapat unsur tipuan, maka selanjutnya perlu dilakukan
kritik dari sisi lainnya (asal sejarah).
Menurut Hasan Utsman,
untuk menetapkan ke-otentik-an sumber atau bukti-bukti sejarah, ahli sejarah
harus meneliti bukti-bukti tersebut dilihat dari segi waktu sebelum terjadinya
(kejadian sejarah), yakni waktu diantara terjadinya peristiwa dengan bukti-bukti sejarah setelah
dikodifikasi. Karena terkadang dalam penulisan sejarah terdapat pengurangan
ataupun penambahan serta perbedaan dengan fakta terjadinya, dikarenakan mereka
tidak mencantumkan keterangan khusus baik sedikit ataupun banyak, bahkan dapat
terjadi manipulasi sejarah mengingat sulitnya mendeteksi ketersesuaian antara
penulis sejarah dengan waktu kejadian sejarah, dan tidak jarang pula ditemukan
penulisan sejarah yang berbeda-beda. Maka perlu dilakukan penelusuran kembali waktu
antara penulisan sejarah dengan peristiwa yang terjadi. [16]
Begitu juga para ahli sejarah
harus meneliti dari segi tempat kejadian
suatu peristiwa. Apakah terdapat saksi mata yang dapat diterima pendapatnya
dalam menceritakan suatu peristiwa secara detail, baik dari tempat terjadinya
ataupun tempat yang jauh sebagai penguat dalam mengingat dan mengkhayalkan
kejadian tersebut[17].
Setelah melakukan penelitian
di atas baik dari segi waktu ataupun tempatnya, selanjutnya para ahli sejarah
menggunakan metode uji analisis. Adapun objek material yang digunakan dalam uji
analisis terbagi kepada 2 macam :
a.
Kritik Internal (History),
yaitu analisis melalui susunan kata (gramatikal) dan makna tekstual serta
maksud penulisan.
b.
Kritik Eksternal
(Validitas), yaitu analisis untuk menetapkan keabsahan bukti-bukti yang telah
terkodifikasi. [18]
Mengenai objek material yang digunakan dalam uji analisis yang telah
disebutkan di atas akan dijabarkan
secara lebih dalam pada penjelasan di bawah ini:
a.
Di Lihat Dari Segi
Ma’na Dan Tujuan Awal Penulisan Tersebut (An-Naqd
Al Bathini Al-Ijabi)
Hasan
Ustman berkata bahwa an-Naqd al-Batini adalah analisis dasar sejarah dengan tujuan
menjelaskan
dan mengetahui ma’nanya. Atas dasar ini sejarawan harus menjaga beberapa ungkapan
dalam membuat beberapa qiyasan meliputi:
1. Perubahan
bahasa dari masa ke masa, oleh karena itu diharuskan mengetahui arti bahasa,
kosa kata yang di gunakan oleh pengarang.
2. Perbedaan arti kosa kata dari berbagai sisi; maka harus pula mengetahui dialek suatu daerah.
3. Susunan kitab yang berbeda sumber pengarangnya maka harus dapat menyelaraskan
uslub (gaya bahasa) dan bahasa penulis.
4. Menafsirkan kalimat yang masih bersifat umum dalam konteks sejarah.
Setelah itu, sejarawan
memulai Kritik Al Batini
As-Salabi yaitu untuk mengetahui penelitian yang
sesungguhnya dan menjauhi kebohongan sebisa mungkin. Dan tujuan Naqd tersebut
memiliki dua sisi, yaitu:
a.
Penetapan shaduq
dan ‘adalah nya penulis
b.
Penetapan shaduq
dari pengetahuan yang dijadikan sumber.[19]
b.
An-Naqd Al-bathiny as-Salabi
Disebutkan oleh Carol Angelo bahwa kritik bathin
as-salabi itu mencakup 2 penafsiran:
1). Apakah rawi atau sejarawan memiliki indera
yang sehat dan pemikiran yang baik
sehingga bisa menghasilkan
pengetahuan yang benar menurut apa yang disaksikan dan didengarnya
sendiri
2). Apakah keduanya mengambil
manfaat dari seluruh syarat pokok sehingga menghasilkan analisis yang ilmiah.
Para Sejarawan menganggap
bagian yang terakhir merupakan point penting dalam dasar kritik, yakni
mengetahui keadilan (‘adalah) dan
keabsahan pengetahuan yang berasal darinya. Kemudian, berdasarkan asas-asas
tersebut maka terbentuklah dasar-dasar penulisan sejarah, yaitu:
a)
Pengumpulan
dasar-dasar yang dibutuhkan untuk merancang sejarah
b)
Ketetapan akan
keshahihan nash
c)
Analisis nash
(teks) dan praktek Kritik Bathin al-Ijabi untuk mengetahui makna lafadz dari si
pengarang kitab
d)
Kritik bathin
as-salabi megandung dua hal:
1.
Dilihat dari shaduq
dan ‘adalah penulis sejarah
2.
Dilihat dari
kebenaran/kebenaran berita yang disampaikan pengarang dan ketelitian dalam
penyampaiannnya.[20]
B.
Keaslian
Sumber Naqd al-Hadits
Keaslian dan
keakuratan atau yang sering disebut dengan istilah keaslian sumber lazimnya
mendapatkan perhatian dari studi yang aktivitasnya berkaitan dengan
rekonstruksi “peristiwa” masa lalu. Sebab, konsep tersebut prasyarat yang mesti
dipenuhi bagi diterimanya suatu laporan yang berisi fakta yang diakui
keberadaannya sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, baik studi ilmu hadis
maupun studi sejarah sama peduli terhadap pelestarian peristiwa masa lalu, dan
sebaliknya akan prihatin terhadap ketidakpedulian atas peristiwa itu, terlebih
lagi terhadap bahaya lenyapnya peristiwa hadis yang ada kaitannya dengan hujah
keagamaan.
Persoalannya,
sebelum fakta atau data suatu peristiwa dijadikan sumber bagi penyusunan
konstruksi suatu laporan, maka ada dua hal yang harus dipertanyakan. Pertama,
apakah sumber itu asli ataukah palsu; siapakah pembawanya; bagaimana bahasanya;
dan siapa sumbernya? Jawaban terhadap sejumlah pertanyaan itu, termasuk apa
yang disebut kritik ekstern atau kritik sanad (al- naqd al-
sanad/ al- naqd al- khariji). Kedua, pertanyaan yang perlu dijawab
kembali sebagaimana hal yang pertama: apakah isinya dapat diterima sebagai
kenyataan; bagaimana mengenai penulisnya: apa ia jujur, adil, dan kompeten,
atau sebaliknya memiliki motif, atau mengalami suatu tekanan? Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut disebut dengan kritik intern atau kritik matan
(al- naqd al- matan/ al- naqd al- dakhili). Kedua hal tersebut merupakan
kriteria yang dipegang dalam menilai keaslian dan keakuratan sumber data
sebelum dijadikan sumber yang diyakini kualitas atau keasliannya bagi bahan
penulisan laporan suatu peristiwa.
Yang dimaksud
dengan laporan disini yaitu aktifitas yang berkaitan dengan suatu keadaan
(peristiwa) atau suatu kegiatan yang dibawa kembali, yang pada dasarnya
berkaitan dengan aktifitas rekonstruksi. Jika ia merupakan data tertulis yang
disajikan dengan memuat uraian yang mengungkap atau merekonstruksi suatu
keadaan yang terjadi di suatu tempat dan pada masa tertentu maka hal tersebut
disebut dengan laporan kejadian atau peristiwa. Dalam keadaan demikian, suatu
peristiwa yang mestinya hilang karena tidak direkonstruksi atau dilaporkan,
maka akan terselamatkan dengan penyajiannya dalam sebuah laporan baik itu dalam
bentuk buku, kitab ataupun hasil penelitian. Jelasnya, laporan merupakan
aktifitas penting yang dapat menjadi “juru selamat” dari terlewatkannya suatu
peristiwa dari para ahlinya baik itu seorang muhaddits maupun muarrikh
yang dengannya konstruksi suatu keadaan atau peristiwa dapat dilestarikan
keberadaanya. Misalnya peristiwa atau keadaan masa Nabi Muhammad saw, melalui
pelaporan yang mencakup kumpulan fakta atau informasi wahyu yang berasal dari
ucapan, pengalaman, penetapan serta persifatan Nabi saw dapat diungkap baik di
dalam buku sejarah ataupun dalam kitab hadis.[21]
Dari buku
sejarah keadaan atau peristiwa tersebut dapat dibaca, dan dari kitab hadis
dapat diperoleh penuturan riwayatnya melalui penyampaian periwayat hadis yang
didokumentasi oleh para perawi hadis dalam kitabnya. Dalam kenyataan tersebut,
hadis dan sejarah memiliki kesejalanan, yakni sama memerlukan bahan berkualitas
(shahih), yang sebelum dikonstruksi menjadi laporan sejarah perlu
ditelusuri keasliannya. Pada dasarnya baik ilmu sejarah maupun hadis memiliki
kepedulian terhadap adanya sebuah sistem yaitu proses uji “keaslian sumber”
yang dalam banyak hal memungkinkan saling menyumbang dan meminjam bagi
kepentingan kedua disiplin ilmu tersebut. Dalam alinea berikut, uraian akan
kembali ke konsep keaslian hadis.[22]
Dilihat dari
sudut perolehan sumber datanya, konsep keaslian dan keakuratan data suatu
peristiwa merupakan hal yang sangat penting, dikarenakan laporan yang sudah
dibukukan dalam sebuah literatur tidak serta merta berwujud suatu produk
tertulis atau literatur mesti telah melalui suatu proses. Jelasnya, selain dari
penulisan, penyusunan atau pembukuan yang perlu konsentrasi sendiri, diperlukan
juga sebuah proses kritik sumber baik menyangkut segi keaslian maupun segi
keakuratan sehingga kualitasnya memenuhi kebutuhan.[23]
Hadis sebagai
informasi atau fakta yang disandarkan atau dihubungkan pada suatu masa yaitu
masa Nabi saw yang isinya memuat perkataan, pengamalan, pengakuan, dan
persifatan Nabi,[24]
tak lain adalah peristiwa sejarah. Sejarah tersebut hanya sekali terjadi dan
kemudian akan hilang dari pandangan zaman. Oleh karenanya, diperlukan jasa
suatu studi baik itu ilmu hadis ataupun sejarah agar terhindar dari kepunahan
khazanah yang tidak terproses dalam suatu konstruksi.
Dalam meneliti
sebuah peristiwa, bantuan ilmu hadis dan sejarah tidak berlangsung sekali jadi,
akan tetapi melalui proses kegiatan seperti sejak penerimaan berita atau
riwayat hadis, pengumpulan data, kritik terhadap sumber data, serta penyusunan
menjadi laporan sejarah atau hadis, baik dalam bentuk buku, kitab ataupun yang
lainnya.
Dalam sistem
yang telah dikembangkan oleh ulama hadis dalam menilai keaslian suatu hadis,
setidaknya ada dua premis yang dikenal menjadi dasar bagi dirumuskannya sistem
penilaian hadis yang dilihat dari prinsip-prinsip aktifitasnya memiliki
kesejalanan dengan sejarah, yaitu:
1.
Keaslian suatu riwayat yang berasal
dari Nabi saw diukur dengan keandalan dari pembawa suatu riwayat atau periwayat
hadis.
2.
Kalangan ulama mengembangkan
sejumlah kaidah keshahihan hadis yang dapat dipegang dalam menilai
akurasi suatu hadis, dan melengkapinya dengan sejumlah ilmu dan referensi
pendukung untuk membuktikan apakah periwayat hadis itu dapat dipercaya atau
tidak.[25]
Dua premis
tersebut akan dijelaskan lebih jauh dalam uraian di bawah ini:
Kritik terhadap
periwayat hadis biasanya mempersoalkan segi kualitas pribadi atau kelurusan
moral (‘adalah) ataupun kapasitas intelektualnya (dlabith).
Periwayat dikategorikan memenuhi segi kualitas pribadi bila telah beragama
islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah
yang sejalan dengan patokan norma tentang orang jujur yang dapat diterima
pemberitaannya. Sedangkan pemenuhan segi kapasitas intelektualnya adalah hafal
dengan sempurna hadis yang diterimanya, mampu menyampaikan dengan baik hadis
yang dihafalnya itu dengan orang lain dan mampu memahami dengan baik hadis yang
dihafalnya itu. Periwayat yang memiliki kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual di atas, dapat dipandang jujur atau dipercaya (tsiqah) yakni
kompeten. Sedang periwayat yang memiliki kualitas pribadi yang baik (‘adil)
saja, namun masih ditunjukkan tanda-tanda kesan kecerobohan disebut dengan shaduq.
Dengan telah dilakukan hal tersebut maka keaslian hadis telah dapat diperoleh
sehingga diperolehlah bahan yang andal bagi hujah untuk diamalkan maupun bagi
historisitas kesejarahan untuk kepentingan konstruksi peristiwa.[26]
Di samping itu
dapat juga dilihat misalnya, pengujian terhadap karakter setiap periwayat dalam
isnad, kecuali terhadap generasi pertama yaitu para sahabat. Apabila
Nabi Muhammad saw telah dimaklumi sebagai pribadi yang dijamin oleh Allah swt
ke-ma’shum-annya (bebas dari kesalahan dalam masalah-masalah yang
berhubungan dengan wahyu), maka kolektif sahabat “terutama” yang meriwayatkan
hadis[27],
sebagai generasi yang langsung meneguk air jernih wahyu kenabian, tidak
berlebihan bila juga dijamin segi kualitas pribadi atau integritas moralnya.
Sebagaimana telah dijelaskan Al-Qur’an sendiri misalnya telah menyebutkan
keunggulan mereka sebagai umat terbaik, umat wasatha (menengah), dan
generasi yang terdahulu di dalam berbuat kebajikan. Oleh karenanya, tidak
mengherankan jika generasi sahabat di dalam studi hadis termasuk yang dinilai
adil yakni mumpuni kualitas pribadinya sehingga dibebaskan dari perlunya
penilaian aspek moral yang meragukan periwayatannya seperti lazim dilakukan
pada generasi setelahnya.
Masih
mengenai ukuran keaslian adalah kriteria di sekitar kesinambungan mata rantai
periwayatan. Selain mengenai perlunya pembuktian kualitas pribadi (‘adil)
dan kapasitas intelektualnya (dlabith), juga perlu pembuktian mengenai
kesinambungan. Periwayat itu, harus hidup dalam periode yang sama, mempunyai
kesempatan bertemu, dan telah mencapai usia baligh pada saat menyampaikan
riwayat sehingga suatu kelayakan dapat terpenuhi dan akan mempermantap bagi
diterimanya periwayatan mereka. Kriteria kesinambungan itu ditentukan bagi
generasi setelah sahabat, mengingat pada masa sahabat mereka hidup berdekatan
sehingga ketersambungan riwayat belumlah diperlukan. Namun, setelah generasi Tabi’in,
dan Atba Tabi’in kesinambungan itu diperlukan termasuk aspek-aspek
lainnya yang dicakup dalam suatu hadis yang shahih.
Sejumlah
istilah teknis, yang diproduk dalam aktifitas kesinambungan periwayatan ini dan
juga lainnya diperkenalkan, seperti takhrij al-hadits, yang diantaranya
mengacu pada arti menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya
yang asli, yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara
lengkap dengan sanad-nya masing-masing; kemudian untuk kepentingan
penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan;[28]
syahid atau mutabi’ yang konsepnya berdekatan dengan cooroborasi
dalam studi sejarah; I’tibar yaitu menyertakan sanad-sanad yang
lain untuk suatu hadis tertentu di mana hadis itu pada bagian sanad-nya
hanya sendirian; yang dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut
akan dapat diketahui ada atau tidaknya periwayat lain untuk bagian sanad
dari sanad hadis dimaksud; Tajrih wa al-ta’dil yaitu tampak
jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak ‘adil atau yang buruk
hafalannya dan kecermatannya yang dapat menyebabkan gugur atau lemahnya riwayat
yang disampaikan oleh periwayat tersebut (untuk al-jarh); mengungkap
sikap-sikap bersih yang ada pada diri periwayat, yang dengan itu tampak jelas
ke-‘adilan- pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikan
dapat diterima.[29]
Di samping misalnya ziyadah yaitu tambahan lafal atau kalimat yang
terdapat dalam matan hadis (yang dikemukakan oleh periwayat tertentu,
sedang periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya).[30]
Kemudian idraj yang menurut istilah ilmu hadis berarti memasukkan pernyataan
yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang
diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari
Nabi karena tidak adanya penjelasan matan hadis itu. Kesemua istilah di
atas termasuk di antara banyak istilah yang diperkenalkan dalam studi hadis.
Dengan
dibakukannya konsep hadis shahih, maka keaslian hadis telah memiliki kriteria
yang jelas. Dengan demikian, untuk keaslian sumber baik studi hadis maupun
sejarah telah memiliki kesejalanan sekalipun untuk istilah teknisnya mempunyai
sebutan yang berbeda.
Model
penelitian studi hadis sejauh ini kebanyakan baru terkonsentrasi pada model takhrij
yang dilihat dari segi signifikannya baru tampak bagi kepentingan hujah
keagamaan tetapi belum jauh memasuki model kedua yaitu kritik hadis (naqd
al-hadis/ penelitian hadis klasik). Kritik hadis pada umumnya diarahkan
pada penelitian kualitas hadis-hadis dalam kitab induk yaitu al- kutub
al-sittah, al-kutub al-tis’ah atau kitab-kitab yang terbaru nanti atau
kitab nukilan hadis di bawahnya seperti Riyadl al-Shalihin, Bulugh al-Maram
dan lain-lain. Model penelitian ini lebih diarahkan kepada dua segi yaitu sanad
dan matan.
Dalam
penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Melakukan I’tibar
b.
Meneliti pribadi periwayat dan
metode periwayatannya
c.
Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Sedangkan untuk penelitian matan, model
yang ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Mengetahui peristiwa yang
melatarbelakangi munculnya suatu hadis[31]
2.
Meneliti matan dengan
melihat kualitas sanad-nya
3.
Meneliti susunan matan lafal
yang semakna
4.
Meneliti kandungan matan
5.
Menyimpulkan hasil penelitian matan[32]
C.
Perbandingan Kritik Antara Metode
Ahli Hadis Dan Sejarah
Kritik merupakan suatu
aktifitas menyoroti sesuatu dengan mempergunakan norma yang dilaksanakan dengan
penuh pertimbangan. Karena itu, dalam melakukan aktifitas kritik kita perlu
melakukannya secara berkeseimbangan, agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.[33]
Terdapat
perbandingan metode yang sangat urgen sekali antara kritik hadis dan
sejarah, diantaranya: [34]
1. Mengumpulkan
data secara menyeluruh
Langkah yang pertama yang dilakukan ahli sejarah adalah
mengumpulkan data secara menyeluruh dimana data itu sebagai mediasi pencapaian
kepada pokok atau asal. Maka dalam kesempatan ini bukan hanya dikhususkan bagi
ahli sejarah saja yang memiliki andil, akan tetapi ahli hadis juga ikut serta
dalam pengumpulan data secara komprehensif. Terkadang langkah seperti ini
dijadikan dalil dan dasar teori bagi ahli sejarah atau minimal 99% itu termasuk
problematika-problematika sejarah. Padahal, langkah seperti sudah dilakukan
oleh ahli hadis sampai sekarang. Setelah berjalannya waktu, kita telah
menemukan satu hadis atau ungkapan ahli sejarah sebagai satu penguat bagi ahli
hadis terhadap 40 atau 50, lebih sedikit atau lebih banyak dalam hadis.
Sebagai contoh: “ Ibn Hanbal telah mendengar muwattha’dari
sepuluh orang yang ahli huffadz dikalangan Malik, kemudian Ibn Hanbal
melakukan hal yang senada terhadap as-Syafi’i atau dengan menggunakan ungkapan
lain bahwa Imam Ahmad menjumpai sepuluh orang yang terpercaya atau kuat untuk
satu pokok perkara”.
2.
Menetapkan
keshahihan teks.
Dalam kitab Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Muhammmad
Mustafa al-A’zami menerangkan bahwa langkah yang kedua ini merupakan hal yang
perlu diketahui bersama. Pada dasarnya kedua teori baik teori ahli hadis dan
sejarah memiliki perbedaan yang sangat signifikan hanya saja ahli hadis dalam
penelitiannya terdapat sejarah-sejarah masa dahulu atau lebih umum. Tidak
mungkin ungkapan suatu hadis, kitab dan ahli sejarah itu diterima begitu saja
sebagai perhatian penilitan jikalau masih perlu diteliti lebih lanjut dan belum
adanya indikasi yang kuat yang sampai kepada kita melalui jalur isnad
kepada pengarang aslinya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa penelitian hadis itu lebih kuat,
lebih sukar dari pada penelitian sejarah. Di sisi lain bahwa metode yang
dipilih ahli hadis dalam penelitan hadis itu telah mereka lakukan dan sesuaikan
dengan penelitian dan kritiknya. Sedangkan adanya perkataan ahli sejarah itu
hanya sebagai teori perkataan khayalan atau omong kosong saja.[35]
D.
Contoh
Penelitian Matan Hadis Dengan Pendekatan Sejarah
Hadis tentang orang islam membunuh
orang kafir. Hadis ini terdapat dalam Shahih Al-Bukhari kitab al-Diyat, bab
La yaqtul al-Muslim bi al-kafr Hadis Mauquf.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ أَنَّ عَامِرًا
حَدَّثَهُمْ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ
لِعَلِيٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلاَّ
مَا فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ
مَا أَعْلَمُهُ إِلاَّ فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلاً فِي الْقُرْآنِ وَمَا
فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قُلْتُ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ
الأَسِيرِ، وَأَنْ لاَ يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ.[36]
Hadis ini terdapat dalam tujuh
kitab hadis dengan enam belas jalur sanad. Masing-masing terdapat dalam Shahih al-Bukhari
tiga jalur, Sunan Al-Turmuzi satu jalur, Sunan Nasa’I empat jalur, Sunan Abu
Dawud empat jalur, Sunan Ibn Majah satu jalur, Musnad Ahmad dua jalur, dan
dalam Sunan Ad-Darimi satu jalur sanad. Keenam belas jalur sanad tersebut
semuanya mauquf. Sementara menurut Al-Ghazali hadis ini berkualitas sahih.
Dikalangan ulama ada yang tidak
mengamalkan hadis ini, diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini
bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolak karena hadis ini dianggap
bertentangan dengan sejarah. Didalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum
kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya.
Jika ia terbunuh, tidak ada hukuman apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan
ahl al-zimmi( orang kafir yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum
muslimin). Apabila seorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukuman qishash.
Hadis yang diteliti tidak memenuhi
kriteria keshahihan hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan hadis.
Dari segi sanad hadis diatas mauquf tidak mencapai derajat marfu’, dan dari
segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan
praktik hukum Rasulullah.[37]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Walaupun terdapat kesamaan antara
model penelitian sejarah dan penelitian hadis, karena kesamaan sasaran, akan
tetapi pendekatan ilmu sejarah tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam
penelitian hadis, termasuk sanad hadis. Pertimbangannya, karena alat ukur yang
dipakai kedua pendekatan tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsip.
2.
Model penelitian dalam buku ini
tampak tidak jelas, walaupun dikatakan memakai pendekatan ilmu sejarah, namun
belum terlihat terapan ilmu tersebut. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kajian
dalam buku ini sebenamya memakai metode analogi perbandingan, karena faktanya
adalah hanya membanding, baik antara beberapa pendapat ulama dalam kaitannya
dengan penentuan kualitas sanad, ataupun antara metode yang dipakai ulama-ulama
tersebut dengan metode ilmu sejarah.
3.
Tawaran metode yang terungkap,
bertujuan memenuhi model studi yang komprehensif tentang hadis, sehingga
diharapkan tidak terjadi perbedaan antara kualitas sanad dan matan, sebagaimana
dikembangkan para ulama, bahwa sanad hadis yang shahih tidak dengan sendirinya
matannya shahih.
[1] Sanad adalah rentetan periwayat yang
memindahkan hadis satu dari yang lainnya sampai mereka menyampaikan hadis
kepada orang yang mengatakannya.Kajian sanad itu merupakan pondasi yang
fundamental dalam study ilmu hadis.Sebagaimana Sufyan at-Tsaury mengungkapkan bahwa
sanad adalah senjata mu’min.tanpa senjata dengan apa cara berperang.
Begitu pula hal senada diungkapkan oleh Abdullah bin al-Mubarak bahwa sanad
bagiku merupakan agama, tanpa sanad seseorang bisa berkata dengan seenaknya.
Lihat Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis,
(Damasqus-Syiria, Dar al-Fikr, 1418 H-1997 M), vol. I, hal. 344.
[2]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah,(Jakarta:Prenada Media,2003), hal.173.
[3]Adalah ar-Rawi bahwa sebagaimana diungkapkan oleh Abu
Abdullah bin al-Hakim bahwa pokok kredibiltas muhaddis adalah muslim,
tidak mengajak kepada bid’ah, Lihat Yusuf bin Hasyim bin ‘Abid
al-Lihyany, al-Khobar at-Tsabit, (t.t.: t.c., t.th), vol. I, hal. 17.
[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,
(Jakarta: Pustaka Fir daus, 2008), cet. V, hal. 111.
[5] Usaha ini secara resmi dan massal telah
dilakukan berdasarkan instruksi dinas khalifah Umar Bin Abdul Azis, dilakukan
sejak zaman sahabat, berupa catatancatatan pribadi seperti ali bin Abu thalib,
amir Bin Ash dan lain-lain. Lihat Subhiy al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu,
hal. 24-30, dan hal. 44-45, Muhammad Zahw, al-Hadis Wa al-Muhaddisun, (Dar
Mathba’ah Mishr, Mesir, tt.) hal. 244-245.
[6] Al-Nu’man Abdul al-Muta’al, al-Hadis
al-Syarif riwayat wa Dirayat, hal. 77-80.
[7] Ibnu al-Shalah, Ulum al-Hadis, hal.
10, dan al-Nawawi, al-Tagrib ii al-Nawawiy Fann Ushul al-Hadis, hal. 1
[8] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan
Bintang, 1989 cet.ke-2) hal.3-4.
[9] M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah),..
hal.7.
[10] Muhammad Al-Ghazali,Dustur al-Wahdah
al-Saqafiyahbayn al-Muslimin, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1996),hal.29.
[11] Bustamin, M.Isa H.A.Salam, Metodologi
Kritik Hadis, (Jakarta Utara, PT.Raja Grafindo Persada: 2004), Hal. 71-72.
[12] Bustamin, M.Isa H.A.Salam, Metodologi
Kritik Hadis, … Hal. 72-75.
[13] Ahmad bin al-Husein bin Ali bin Musa bin Abu
Bakr al-Baihaqy, as-Sunan as-Sughra li Ahmad al-Baihaqy,
(t.t.,t.c.,t.th.), vol. I. hal. 86.
[14] Salahuddin ibn Ahmad al-adabi, Metodologi kritik matan hadis,
(Jakarta: Gaya media pratama), hal,254
[15] Menurut bahasa
(etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih
tua dan lebih utama. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang
telah mendahuluinya. (Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii
Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi,
Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H). Menurut istilah (terminologi), kata Salaf
berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari
para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga
kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia
adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya
(masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ at Tabi’in).
[16] Musthafa al-A’zami, Manhaj an-Naqd ‘Inda
al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, (Riyadh:at-Thobaiyah
al-Arobiyah,1982), hal. 93.
[21] Erfan Subahar, Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah,… hal.218
[22] Dalam uraian selanjutnya istilah di atas
banyak disebut dengan keaslian sumber, sebagai istilah yang banyak digunakan di
sekitar naskah yang autentik
[23] Dalam studi hadis, proses yang terakhir di
atas dikenal dengan kritik dari segi ke-shahih-an hadis, meliputi kritik
sanad dan matn hadis
[24] Dalam konteks ini terlihat, bahwa ilmu hadis
dan ilmu sejarah mempunyai kesejalanan, terutama dari sudut aktifitas
rekonstruksi bahan atau informasi atau peristiwanya; keduanya laksana dua sisi
mata uang. Namun, ketika berdiri sebagai suatu konsep keilmuan, masing-masing
telah mengembangkan kemampuan sesuai dengan medan operasinya. Karena itu, wajar
bila pada saat demikian tiap-tiap ilmu dalam beberapa segi mempunyai
keberbedaan konsep, tapi pada kesempatan yang sama memiliki banyak kesejalanan,
termasuk dalam persoalan keaslian sumber atau teks atau naskah hadis.
[25] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah, … 221
[26] Erfan Soebahar, Meggunakan Fakta Keabsahan
Al-Sunnah, … Hal :220
[27] Penyebutan kata “terutama” di sini dalam
kaitannya dengan periwayatan hadis, mengingat bahwa tidak semua sahabat yang
hidup pada masa Nabi saw itu menjadi periwayat hadis. Yang melakukan
periwayatan hadis dari generasi sahabat itu terbatas, yakni sejumlah
orang-orang yang betul-betul pernah menjadi saksi sejarah berkenaan dengan
hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. Sebagian dari sahabat itu yang
telah ditelusuri persambungannya oleh al-A’zhami, memiliki periwayatan yang
bersambung di dalam hadis, sehingga periwayatannya terkait secara jelas dengan
generasi sesudahnya, baik Tabi’in maupun Tabi al- Tabi’in. karena
itu, mayoritas mereka yang terlibat periwayatan dalam hadis adalah dikenal
dengan predikat ‘adil yakni periwayatnya dapat diterima. Namun
penyebutan ‘adil terhadap sahabat yang meriwayatkan hadis di sini baru
salah satu dari syarat yang perlu dipenuhi bagi penerimaan hadis, sehingga
hadis yang diterimanya harus bebas dari ujian dlabith untuk dapatnya
menjadi hadis yang shahih, yakni asli diterimanya dari Nabi Muhammad saw
[28] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa
Dirasat al-Asanid, (Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978), hal. 9-14
[29] Abu Lubabah Husayni, al-Jarh wa al-Ta’dil,
(Riyad: Dar al-Liwa’, 1399), hal. 21-22
[30] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum
al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), hal.425
[31] Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, … hal.
85
[32] Erfan Subahar, Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah, … hal, 234
[33]Erfan Soebahar, Meggunakan Fakta Keabsahan
Al-Sunnah, … Hal, 242.
[36] Bukhari, al- Jami’ al- Shahih, (Kairo:
Dar al- Sya’bi, 1987), Juz 4, hal. 84
[37] Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, … hal. 86-87
Komentar
Posting Komentar