Perbandingan Metode Kritik Ahli Hadis dengan Sejarah



BAB I
PENDAHULUAN

Kritik hadis merupakan suatu ilmu yang tidak bisa terlepaskan dalam kehidupan masyarakat apalagi dalam dunia akademisi. Dalam kajian hadis ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ulama, serta pengkaji hadis bahwa hadis itu tidak akan terlepas dari kedua peran ini, yaitu peran sebuah sanad[1] dan matan hadis.[2] Di samping itu pula kritik hadis sangat diperlukan untuk menentukan otentisitas sebuah hadis. Ada dua aspek yang sangat urgen sekali bahwa kajian hadis yang paling penting adalah keotentikan dan hujjah hadis.
Untuk mengetahui otensititas hadis, rawi-rawi yang mentransmisikan hadis itu perlu diteliti satu per satu. Apakah antara rawi pertama sampai rawi terakhir (kolektror hadis) terdapat kesambungan sanad (Ittishal as-Sanad), dimana rawi pertama pernah bertemu dengan rawi kedua, rawi kedua pernah bertemu dengan rawi ketiga, dan begitulah seterusnya sampai rawi terakhir. Apakah masing-masing rawi memiliki kredibilitas sebagai periwayat atau transmiter hadis, di mana dalam disiplin ilmu hadis dikenal dengan ‘adalah al-Rawi.[3] Apakah masing-masing rawi kuat ingatannya, tidak mudah lupa, linglung dan sebagainya.[4]



I.       LATAR BELAKANG
Penelitian hadis merupakan kegiatan ilmiah untuk membuktikan kebenaran suatu berita dan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil. Umat Islam sangat besar perhatiannya dalam segi ini, baik dipakai sebagai penetapan suatu pengetahuan atau pengambilan suatu dalil (dasar hukum). Apa lagi jika hal tersebut berkaitan dengan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW., -ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada beliau-. Usaha ini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW., dengan berjalan di atas sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridlaan Allah SWT. dan mendapatkan kecintaannya.
Sudah sejak lama para pendahulu kita berusaha memelihara peninggalan Nabi ini, dan menjaganya dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak dilakukan oleh berbagai kalangan.[5] Usaha pemeliharaan pusaka Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan pembukuan secara umum tentang hadis dan secara terus menerus diadakan penelitian melalui proses yang sangat ketat berdasarkan metodologi dan standar yang diciptakan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing peneliti.[6] Hasil usaha para ulama peneliti hadis di atas, antara lain adalah penetapan lima persyaratan keshahihan hadis Nabi; tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matan. Lima kaidah keshahihan hadis itu adalah:
1.      Sanadnya bersambung.
2.      Seluruh periwayatan dalam sanad bersifat adil.
3.      Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
4.      Terhindar dari syadz (kejanggalan).
5.      Terhindar dari illat (cacat)[7]
Ada empat hal yang mendorong dan melatarbelakangi penulisan makalah ini dilakukan, yaitu :
a.          Mengingat kedudukan kualitas hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadis dijadikan sebagai hujjah atau dalil agama. Dengan demikian penelusuran secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis Nabi itu, apakah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tingkat validitas dan akurasinya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Kajian hadis dengan pendekatan historis menjadi sangat penting karena usaha penghimpunan hadis baru dilakukan sekitar satu abad setelah wafatnya Nabi SAW sebagai sumber utamanya. Dalam tenggang waktu yang cukup panjang ini, sangat mungkin ada usaha-usaha, baik sengaja atau tidak, yang dapat mempengaruhi tingkat akurasi dan validitas riwayatnya. Hal ini bisa dilihat dari realitas keanekaragaman redaksi matan yang terhimpun dalam berbagai macam koleksi hadis yang juga banyak dan beraneka ragam. Kadang justru antara satu dengan lainnya terdapat hadis tentang suatu hal yang sama tetapi berbeda redaksi dan justru kandungan isinya juga bertentangan.
b.         Sebagaimana menurut ulama hadis, suatu hadis yang sanadnya sahih, tidak dengan sendirinya maka hadis itu juga berkualitas sahih.[8] Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya penyebab perbedaan kualitas itu. Apakah kaedah keshahihan sanad hadis (lima syarat) masih belum akurat atau ada sebab-sebab yang lain, misalnya peluang dominan riwayat bil-makna atau peran hadis yang bersifat duniawi.
c.          Mengingat keadaan keshahihan sanad hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu hadis maka keadaan tersebut perlu ditelaah secara kritis.[9] Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh para ulama Mutaqaddimin, yang menyatakan bahwa sanad menduduki posisi strategis dalam kualitas hadis, juga dikatakan sebagai bagian dari agama. Kajian ini diharapkan bisa dapat diketahui relevansinya antar unsur-unsur yang terdapat dalam kaedah tersebut, sehingga dibuat sebagai acuan untuk menentukan keshahihan hadis, baik dari segi sanad atau matannya.
d.         Melihat kenyataan hadis nabi di satu sisi merupakan fakta sejarah, dan dalam ilmu sejarah telah dikenal adanya kritik sumber, maka kaedah kesahihan sanad hadis perlu dikaji melalui pendekatan ilmu sejarah.
Berdasar latar belakang di atas, kajian ini diharapkan dapat dibuktikan tingkat akurasi antara metode kritik disisi ahli hadis dan ahli sejarah. Jika hal ini bisa terjadi, maka penelusuran berikutnya diarahkan pada faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas sanad dan kualitas matan suatu hadis tertentu. Dan apabila kaedah keshahihan hadis itu sejalan dengan kritik sumber yang dikenal ilmu sejarah, maka kaedah tersebut merupakan suatu metode ilmiah yang perlu dikembangkan dalam kajian hadis.
Sebelumnya penulis ingin menjelaskan mengenai beberapa Pendekatan dalam melakukan  kritik hadis, diantaranya:
a.         Pendekatan Melalui Al-Qur’an
Penelitian dengan penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah sebagai sumber pertama dan utama dalam islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang usul maupun furu’,[10] maka Al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya shahih.
Hadis yang dapat dibandingkan dengan Al-Qur’an hanyalah hadis yang sudah dipastikan keshahihannya, baik dari segi sanad maupun dari matan. Oleh karena itu, menurut Al Syafi’i tidak mungkin hadis bertentangan dengan Al-Qur’an.[11]
Adapun cara yang ditempuh untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya bertentangan dengan Al-Qur’an adalah dengan mentakwil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadits. [12]
b.         Pendekatan  Rasio Dan Akal
Mengingat keterkaitan antara keduanya (Rasio dan Sejarah) bahwa Sebelumnya para ahli hadis telah menggunakan pendekatan Rasional dalam memahami sebuah perkara. Bahkan Rasio sangat dibutuhkan sekali dan bisa dijadikan hujjah. Peran rasio ini melihat bahwa apakah kejadian ini benar adanya atau tidak? Sebatas apa rasio itu dalam memahami sebuah teks yang qath’i al-Wurud, Qath’i ad-Dilalah dan Dzanny?
Adapun yang terkait dengan Qath’i al-Wurud itu nash atau teks yang benar-benar datang dari Allah SWT seperti perintah shalat yang telah banyak difirmankan oleh Allah dalam al-Quran. Akan tetapi perintah tersebut dijelaskan tata cara dan waktunya dideskripsikan dalam hadis Nabi. Sebagaimana Nabi bersabda:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَامِدٍ الْمُقْرِئُ، قَالاَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا بَكَّارُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدَ، عَنْ عَامِرٍ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: إِنَّ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ، فَلَمَّا قَدِمَ نَبِيُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَاطْمَأَنَّ، زَادَ رَكْعَتَيْنِ غَيْرَ الْمَغْرِبِ لأَنَّهَا وِتْرٌ، وَصَلاةُ الْغَدَاةِ لِطُولِ قِرَاءَتِهَا، قَالَتْ: وَكَانَ إِذَا سَافَرَ صَلَّى صَلاتَهُ الأُولَى[13]

Dalam kajian Qath’i al-Wurud ini peran akal tidak bisa seenaknya saja dalam menginterpretasi sebuah teks tersebut. Akal berperan dalam teks al-Quran yang bersifat dzanniy saja. Perlu diketahui pula bahwa al-Qur’an juga tidak semuanya bersifat Qath’i.
Definisi ini ada yang menafsirkan bahwa bacalah bukan hanya terikat pada makna itu saja. Akan tetapi, banyak yang menafsirkan manusia diciptakan untuk berfikir, meneliti, memahami, merenung, belajar dan lain sebagainya.
c.          Pendekatan Sejarah.
Dalam hal ini, penulis akan membahas Metode Kritik Hadis melalui pendekatan sejarah lebih dalam pada bab II, apakah sama kedudukan metode ahli hadis dan sejarawan? Muhammad al-A’zami menjawab bahwa metode keduanya sangatlah berbeda sekali sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing; sehingga dapat ditemukan apakah metode penelitian hadis lebih kuat dan lebih sukar dibandingkan dengan metode sejarah. Dan apakah metode kritik sejarah dapat digunakan dalam mengkritisi keabsahan sebuah hadis.
Termasuk hal yang menunjukkan kebatilan adalah keberadaan hadist yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW yang bertentangan dengan akal, indra atau sejarah. Ini adalah perkara yang tidak di perselisihkan, karena sang pembawa risalah Ilahiyah yang merupakan utusan tuhan semesta alam tidak keluar darinya sesuatu yang bertentangan dengan hukum akal sehat, kenyataan yang dapat diraba, ataupun kebenaran sejarah.[14]


















BAB II
PEMBAHASAN


A.    Kritik Dalam Perspektif Ahli Sejarah
Dalam ilmu sejarah dikatakan " إذا ضاعت الأصول ضاع التاريخ " yakni jika suatu asas telah hilang, maka hilanglah sejarah. Adapun yang dimaksud “asas” dikalangan ahli sejarah adalah seluruh bekas peninggalan yang ditinggalkan oleh ulama salaf.[15]
Asad Rustam memberikan contoh mengenai hal tersebut bahwa semua sumber dan surat-surat yang terdapat pada Muhammad Basha merupakan peninggalan sejarah pada masanya. Begitu juga seluruh barang peninggalan baik senjata, tulisan, kitab dan lain sebagainya merupakan “ushul” atau peninggalan menurut kalangan ahli sejarah. Adapun peninggalan-peninggalan tersebut terkadang memiliki perbedaan baik dari segi warna, rupa maupun isyarat yang dapat menunjukkan kebenaran sejarah. Oleh karena itu, para ahli sejarah menentukan beberapa langkah dalam mengumpulkan elemen- elemen (ushul) dalam menulis sejarah.
Adapun langkah-langkah yang digunakan oleh ahli sejarah dalam mengumpulkan bukti-bukti dalam menulis sejarah yaitu :
1.      Mengumpulkan semua bahan pokok atau bukti-bukti yang memungkinkan untuk dikaji secara keseluruhan, yaitu studi keabsahan sejarah.
2.      Setelah dikumpulkan dan dikritisi, mereka mencoba untuk menganalisis  dan menetapkan kebenaran (keshahihan) nya; yaitu uji validitas sejarah.
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam  mengkritisi dasar-dasar sejarah adalah  menetapkan keasliannya. Karena jika bukti atau sumber tersebut tidak asli atau dengan kata lain palsu, maka tidak mugkin kita mengambil bahan darinya.
 Setelah diteliti dan ditetapkan bahwa sumber tersebut ternyata tidak terdapat unsur tipuan, maka selanjutnya perlu dilakukan  kritik dari sisi lainnya (asal sejarah).
Menurut Hasan Utsman, untuk menetapkan ke-otentik-an sumber atau bukti-bukti sejarah, ahli sejarah harus meneliti bukti-bukti tersebut dilihat dari segi waktu sebelum terjadinya (kejadian sejarah), yakni waktu diantara terjadinya peristiwa  dengan bukti-bukti sejarah setelah dikodifikasi. Karena terkadang dalam penulisan sejarah terdapat pengurangan ataupun penambahan serta perbedaan dengan fakta terjadinya, dikarenakan mereka tidak mencantumkan keterangan khusus baik sedikit ataupun banyak, bahkan dapat terjadi manipulasi sejarah mengingat sulitnya mendeteksi ketersesuaian antara penulis sejarah dengan waktu kejadian sejarah, dan tidak jarang pula ditemukan penulisan sejarah yang berbeda-beda. Maka perlu dilakukan penelusuran kembali waktu antara penulisan sejarah dengan peristiwa yang terjadi. [16]
Begitu juga para ahli sejarah harus  meneliti dari segi tempat kejadian suatu peristiwa. Apakah terdapat saksi mata yang dapat diterima pendapatnya dalam menceritakan suatu peristiwa secara detail, baik dari tempat terjadinya ataupun tempat yang jauh sebagai penguat dalam mengingat dan mengkhayalkan kejadian tersebut[17].
Setelah melakukan penelitian di atas baik dari segi waktu ataupun tempatnya, selanjutnya para ahli sejarah menggunakan metode uji analisis. Adapun objek material yang digunakan dalam uji analisis terbagi kepada 2 macam :
a.       Kritik Internal (History), yaitu analisis melalui susunan kata (gramatikal) dan makna tekstual serta maksud penulisan.
b.      Kritik Eksternal (Validitas), yaitu analisis untuk menetapkan keabsahan bukti-bukti yang telah terkodifikasi. [18]
Mengenai objek material yang digunakan dalam uji analisis yang telah disebutkan di atas akan dijabarkan  secara lebih dalam pada penjelasan di bawah ini:
a.       Di Lihat Dari Segi Ma’na Dan Tujuan Awal Penulisan Tersebut (An-Naqd Al Bathini Al-Ijabi)
Hasan Ustman berkata bahwa an-Naqd al-Batini adalah analisis dasar sejarah dengan tujuan menjelaskan dan mengetahui ma’nanya. Atas dasar ini sejarawan harus menjaga beberapa ungkapan dalam membuat beberapa qiyasan meliputi:
1.      Perubahan bahasa dari masa ke masa, oleh karena itu diharuskan mengetahui arti bahasa, kosa kata yang di gunakan oleh pengarang.
2.      Perbedaan arti kosa kata dari berbagai sisi;  maka harus pula mengetahui dialek suatu daerah.
3.      Susunan kitab yang berbeda sumber pengarangnya maka harus dapat menyelaraskan uslub (gaya bahasa) dan bahasa penulis.
4.      Menafsirkan kalimat yang masih bersifat umum dalam konteks sejarah.
Setelah itu, sejarawan memulai Kritik Al Batini As-Salabi yaitu untuk mengetahui penelitian yang sesungguhnya dan menjauhi kebohongan sebisa mungkin. Dan tujuan Naqd tersebut memiliki dua sisi, yaitu:
a.       Penetapan shaduq dan ‘adalah nya penulis
b.      Penetapan shaduq dari pengetahuan yang dijadikan sumber.[19]
b.      An-Naqd Al-bathiny as-Salabi
Disebutkan oleh Carol Angelo bahwa kritik bathin as-salabi itu mencakup 2 penafsiran:
1). Apakah rawi atau sejarawan memiliki indera yang sehat dan  pemikiran yang baik sehingga bisa menghasilkan  pengetahuan yang benar menurut apa yang disaksikan dan didengarnya sendiri 
2). Apakah keduanya mengambil manfaat dari seluruh syarat pokok sehingga menghasilkan analisis yang ilmiah.
Para Sejarawan menganggap bagian yang terakhir merupakan point penting dalam dasar kritik, yakni mengetahui keadilan (‘adalah)  dan keabsahan pengetahuan yang berasal darinya. Kemudian, berdasarkan asas-asas tersebut maka terbentuklah dasar-dasar penulisan sejarah, yaitu:
a)      Pengumpulan dasar-dasar yang dibutuhkan untuk merancang sejarah
b)      Ketetapan akan keshahihan nash
c)      Analisis nash (teks) dan praktek Kritik Bathin al-Ijabi untuk mengetahui makna lafadz dari si pengarang kitab
d)     Kritik bathin as-salabi megandung dua hal:
1.      Dilihat dari shaduq dan ‘adalah penulis sejarah
2.      Dilihat dari kebenaran/kebenaran berita yang disampaikan pengarang dan ketelitian dalam penyampaiannnya.[20]
B.     Keaslian Sumber Naqd al-Hadits
Keaslian dan keakuratan atau yang sering disebut dengan istilah keaslian sumber lazimnya mendapatkan perhatian dari studi yang aktivitasnya berkaitan dengan rekonstruksi “peristiwa” masa lalu. Sebab, konsep tersebut prasyarat yang mesti dipenuhi bagi diterimanya suatu laporan yang berisi fakta yang diakui keberadaannya sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, baik studi ilmu hadis maupun studi sejarah sama peduli terhadap pelestarian peristiwa masa lalu, dan sebaliknya akan prihatin terhadap ketidakpedulian atas peristiwa itu, terlebih lagi terhadap bahaya lenyapnya peristiwa hadis yang ada kaitannya dengan hujah keagamaan.
Persoalannya, sebelum fakta atau data suatu peristiwa dijadikan sumber bagi penyusunan konstruksi suatu laporan, maka ada dua hal yang harus dipertanyakan. Pertama, apakah sumber itu asli ataukah palsu; siapakah pembawanya; bagaimana bahasanya; dan siapa sumbernya? Jawaban terhadap sejumlah pertanyaan itu, termasuk apa yang disebut kritik ekstern atau kritik sanad (al- naqd al- sanad/ al- naqd al- khariji). Kedua, pertanyaan yang perlu dijawab kembali sebagaimana hal yang pertama: apakah isinya dapat diterima sebagai kenyataan; bagaimana mengenai penulisnya: apa ia jujur, adil, dan kompeten, atau sebaliknya memiliki motif, atau mengalami suatu tekanan? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut disebut dengan kritik intern atau kritik matan (al- naqd al- matan/ al- naqd al- dakhili). Kedua hal tersebut merupakan kriteria yang dipegang dalam menilai keaslian dan keakuratan sumber data sebelum dijadikan sumber yang diyakini kualitas atau keasliannya bagi bahan penulisan laporan suatu peristiwa.
Yang dimaksud dengan laporan disini yaitu aktifitas yang berkaitan dengan suatu keadaan (peristiwa) atau suatu kegiatan yang dibawa kembali, yang pada dasarnya berkaitan dengan aktifitas rekonstruksi. Jika ia merupakan data tertulis yang disajikan dengan memuat uraian yang mengungkap atau merekonstruksi suatu keadaan yang terjadi di suatu tempat dan pada masa tertentu maka hal tersebut disebut dengan laporan kejadian atau peristiwa. Dalam keadaan demikian, suatu peristiwa yang mestinya hilang karena tidak direkonstruksi atau dilaporkan, maka akan terselamatkan dengan penyajiannya dalam sebuah laporan baik itu dalam bentuk buku, kitab ataupun hasil penelitian. Jelasnya, laporan merupakan aktifitas penting yang dapat menjadi “juru selamat” dari terlewatkannya suatu peristiwa dari para ahlinya baik itu seorang muhaddits maupun muarrikh yang dengannya konstruksi suatu keadaan atau peristiwa dapat dilestarikan keberadaanya. Misalnya peristiwa atau keadaan masa Nabi Muhammad saw, melalui pelaporan yang mencakup kumpulan fakta atau informasi wahyu yang berasal dari ucapan, pengalaman, penetapan serta persifatan Nabi saw dapat diungkap baik di dalam buku sejarah ataupun dalam kitab hadis.[21]
Dari buku sejarah keadaan atau peristiwa tersebut dapat dibaca, dan dari kitab hadis dapat diperoleh penuturan riwayatnya melalui penyampaian periwayat hadis yang didokumentasi oleh para perawi hadis dalam kitabnya. Dalam kenyataan tersebut, hadis dan sejarah memiliki kesejalanan, yakni sama memerlukan bahan berkualitas (shahih), yang sebelum dikonstruksi menjadi laporan sejarah perlu ditelusuri keasliannya. Pada dasarnya baik ilmu sejarah maupun hadis memiliki kepedulian terhadap adanya sebuah sistem yaitu proses uji “keaslian sumber” yang dalam banyak hal memungkinkan saling menyumbang dan meminjam bagi kepentingan kedua disiplin ilmu tersebut. Dalam alinea berikut, uraian akan kembali ke konsep keaslian hadis.[22]
Dilihat dari sudut perolehan sumber datanya, konsep keaslian dan keakuratan data suatu peristiwa merupakan hal yang sangat penting, dikarenakan laporan yang sudah dibukukan dalam sebuah literatur tidak serta merta berwujud suatu produk tertulis atau literatur mesti telah melalui suatu proses. Jelasnya, selain dari penulisan, penyusunan atau pembukuan yang perlu konsentrasi sendiri, diperlukan juga sebuah proses kritik sumber baik menyangkut segi keaslian maupun segi keakuratan sehingga kualitasnya memenuhi kebutuhan.[23]
Hadis sebagai informasi atau fakta yang disandarkan atau dihubungkan pada suatu masa yaitu masa Nabi saw yang isinya memuat perkataan, pengamalan, pengakuan, dan persifatan Nabi,[24] tak lain adalah peristiwa sejarah. Sejarah tersebut hanya sekali terjadi dan kemudian akan hilang dari pandangan zaman. Oleh karenanya, diperlukan jasa suatu studi baik itu ilmu hadis ataupun sejarah agar terhindar dari kepunahan khazanah yang tidak terproses dalam suatu konstruksi.
Dalam meneliti sebuah peristiwa, bantuan ilmu hadis dan sejarah tidak berlangsung sekali jadi, akan tetapi melalui proses kegiatan seperti sejak penerimaan berita atau riwayat hadis, pengumpulan data, kritik terhadap sumber data, serta penyusunan menjadi laporan sejarah atau hadis, baik dalam bentuk buku, kitab ataupun yang lainnya.
Dalam sistem yang telah dikembangkan oleh ulama hadis dalam menilai keaslian suatu hadis, setidaknya ada dua premis yang dikenal menjadi dasar bagi dirumuskannya sistem penilaian hadis yang dilihat dari prinsip-prinsip aktifitasnya memiliki kesejalanan dengan sejarah, yaitu:
1.      Keaslian suatu riwayat yang berasal dari Nabi saw diukur dengan keandalan dari pembawa suatu riwayat atau periwayat hadis.
2.      Kalangan ulama mengembangkan sejumlah kaidah keshahihan hadis yang dapat dipegang dalam menilai akurasi suatu hadis, dan melengkapinya dengan sejumlah ilmu dan referensi pendukung untuk membuktikan apakah periwayat hadis itu dapat dipercaya atau tidak.[25]
Dua premis tersebut akan dijelaskan lebih jauh dalam uraian di bawah ini:
Kritik terhadap periwayat hadis biasanya mempersoalkan segi kualitas pribadi atau kelurusan moral (‘adalah) ataupun kapasitas intelektualnya (dlabith). Periwayat dikategorikan memenuhi segi kualitas pribadi bila telah beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah yang sejalan dengan patokan norma tentang orang jujur yang dapat diterima pemberitaannya. Sedangkan pemenuhan segi kapasitas intelektualnya adalah hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu dengan orang lain dan mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu. Periwayat yang memiliki kualitas pribadi dan kapasitas intelektual di atas, dapat dipandang jujur atau dipercaya (tsiqah) yakni kompeten. Sedang periwayat yang memiliki kualitas pribadi yang baik (‘adil) saja, namun masih ditunjukkan tanda-tanda kesan kecerobohan disebut dengan shaduq. Dengan telah dilakukan hal tersebut maka keaslian hadis telah dapat diperoleh sehingga diperolehlah bahan yang andal bagi hujah untuk diamalkan maupun bagi historisitas kesejarahan untuk kepentingan konstruksi peristiwa.[26]
Di samping itu dapat juga dilihat misalnya, pengujian terhadap karakter setiap periwayat dalam isnad, kecuali terhadap generasi pertama yaitu para sahabat. Apabila Nabi Muhammad saw telah dimaklumi sebagai pribadi yang dijamin oleh Allah swt ke-ma’shum-annya (bebas dari kesalahan dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan wahyu), maka kolektif sahabat “terutama” yang meriwayatkan hadis[27], sebagai generasi yang langsung meneguk air jernih wahyu kenabian, tidak berlebihan bila juga dijamin segi kualitas pribadi atau integritas moralnya. Sebagaimana telah dijelaskan Al-Qur’an sendiri misalnya telah menyebutkan keunggulan mereka sebagai umat terbaik, umat wasatha (menengah), dan generasi yang terdahulu di dalam berbuat kebajikan. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika generasi sahabat di dalam studi hadis termasuk yang dinilai adil yakni mumpuni kualitas pribadinya sehingga dibebaskan dari perlunya penilaian aspek moral yang meragukan periwayatannya seperti lazim dilakukan pada generasi setelahnya.
   Masih mengenai ukuran keaslian adalah kriteria di sekitar kesinambungan mata rantai periwayatan. Selain mengenai perlunya pembuktian kualitas pribadi (‘adil) dan kapasitas intelektualnya (dlabith), juga perlu pembuktian mengenai kesinambungan. Periwayat itu, harus hidup dalam periode yang sama, mempunyai kesempatan bertemu, dan telah mencapai usia baligh pada saat menyampaikan riwayat sehingga suatu kelayakan dapat terpenuhi dan akan mempermantap bagi diterimanya periwayatan mereka. Kriteria kesinambungan itu ditentukan bagi generasi setelah sahabat, mengingat pada masa sahabat mereka hidup berdekatan sehingga ketersambungan riwayat belumlah diperlukan. Namun, setelah generasi Tabi’in, dan Atba Tabi’in kesinambungan itu diperlukan termasuk aspek-aspek lainnya yang dicakup dalam suatu hadis yang shahih.
Sejumlah istilah teknis, yang diproduk dalam aktifitas kesinambungan periwayatan ini dan juga lainnya diperkenalkan, seperti takhrij al-hadits, yang diantaranya mengacu pada arti menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing; kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan;[28] syahid atau mutabi’ yang konsepnya berdekatan dengan cooroborasi dalam studi sejarah; I’tibar yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu di mana hadis itu pada bagian sanad-nya hanya sendirian; yang dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui ada atau tidaknya periwayat lain untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud; Tajrih wa al-ta’dil yaitu tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak ‘adil atau yang buruk hafalannya dan kecermatannya yang dapat menyebabkan gugur atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut (untuk al-jarh); mengungkap sikap-sikap bersih yang ada pada diri periwayat, yang dengan itu tampak jelas ke-‘adilan- pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.[29] Di samping misalnya ziyadah yaitu tambahan lafal atau kalimat yang terdapat dalam matan hadis (yang dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya).[30] Kemudian idraj yang menurut istilah ilmu hadis berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari Nabi karena tidak adanya penjelasan matan hadis itu. Kesemua istilah di atas termasuk di antara banyak istilah yang diperkenalkan dalam studi hadis.
Dengan dibakukannya konsep hadis shahih, maka keaslian hadis telah memiliki kriteria yang jelas. Dengan demikian, untuk keaslian sumber baik studi hadis maupun sejarah telah memiliki kesejalanan sekalipun untuk istilah teknisnya mempunyai sebutan yang berbeda.
Model penelitian studi hadis sejauh ini kebanyakan baru terkonsentrasi pada model takhrij yang dilihat dari segi signifikannya baru tampak bagi kepentingan hujah keagamaan tetapi belum jauh memasuki model kedua yaitu kritik hadis (naqd al-hadis/ penelitian hadis klasik). Kritik hadis pada umumnya diarahkan pada penelitian kualitas hadis-hadis dalam kitab induk yaitu al- kutub al-sittah, al-kutub al-tis’ah atau kitab-kitab yang terbaru nanti atau kitab nukilan hadis di bawahnya seperti Riyadl al-Shalihin, Bulugh al-Maram dan lain-lain. Model penelitian ini lebih diarahkan kepada dua segi yaitu sanad dan matan.
Dalam penelitian sanad, model yang ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Melakukan I’tibar
b.      Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
c.       Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Sedangkan untuk penelitian matan, model yang ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis[31]
2.      Meneliti matan dengan melihat kualitas sanad-nya
3.      Meneliti susunan matan lafal yang semakna
4.      Meneliti kandungan matan
5.      Menyimpulkan hasil penelitian matan[32]
C.    Perbandingan Kritik  Antara Metode Ahli Hadis Dan Sejarah
Kritik merupakan suatu aktifitas menyoroti sesuatu dengan mempergunakan norma yang dilaksanakan dengan penuh pertimbangan. Karena itu, dalam melakukan aktifitas kritik kita perlu melakukannya secara berkeseimbangan, agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.[33]
Terdapat  perbandingan metode yang sangat urgen sekali antara kritik hadis dan sejarah, diantaranya: [34]
1.      Mengumpulkan data secara menyeluruh
Langkah yang pertama yang dilakukan ahli sejarah adalah mengumpulkan data secara menyeluruh dimana data itu sebagai mediasi pencapaian kepada pokok atau asal. Maka dalam kesempatan ini bukan hanya dikhususkan bagi ahli sejarah saja yang memiliki andil, akan tetapi ahli hadis juga ikut serta dalam pengumpulan data secara komprehensif. Terkadang langkah seperti ini dijadikan dalil dan dasar teori bagi ahli sejarah atau minimal 99% itu termasuk problematika-problematika sejarah. Padahal, langkah seperti sudah dilakukan oleh ahli hadis sampai sekarang. Setelah berjalannya waktu, kita telah menemukan satu hadis atau ungkapan ahli sejarah sebagai satu penguat bagi ahli hadis terhadap 40 atau 50, lebih sedikit atau lebih banyak dalam hadis.
Sebagai contoh: “ Ibn Hanbal telah mendengar muwattha’dari sepuluh orang yang ahli huffadz dikalangan Malik, kemudian Ibn Hanbal melakukan hal yang senada terhadap as-Syafi’i atau dengan menggunakan ungkapan lain bahwa Imam Ahmad menjumpai sepuluh orang yang terpercaya atau kuat untuk satu pokok perkara”.

2.      Menetapkan keshahihan teks.
Dalam kitab Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Muhammmad Mustafa al-A’zami menerangkan bahwa langkah yang kedua ini merupakan hal yang perlu diketahui bersama. Pada dasarnya kedua teori baik teori ahli hadis dan sejarah memiliki perbedaan yang sangat signifikan hanya saja ahli hadis dalam penelitiannya terdapat sejarah-sejarah masa dahulu atau lebih umum. Tidak mungkin ungkapan suatu hadis, kitab dan ahli sejarah itu diterima begitu saja sebagai perhatian penilitan jikalau masih perlu diteliti lebih lanjut dan belum adanya indikasi yang kuat yang sampai kepada kita melalui jalur isnad kepada pengarang aslinya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa penelitian hadis itu lebih kuat, lebih sukar dari pada penelitian sejarah. Di sisi lain bahwa metode yang dipilih ahli hadis dalam penelitan hadis itu telah mereka lakukan dan sesuaikan dengan penelitian dan kritiknya. Sedangkan adanya perkataan ahli sejarah itu hanya sebagai teori perkataan khayalan atau omong kosong saja.[35]
D.    Contoh Penelitian Matan Hadis Dengan Pendekatan Sejarah
Hadis tentang orang islam membunuh orang kafir. Hadis ini terdapat dalam Shahih Al-Bukhari kitab al-Diyat, bab La yaqtul al-Muslim bi al-kafr Hadis Mauquf.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا مُطَرِّفٌ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُمْ، عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ لِعَلِيٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ مِنَ الْوَحْيِ إِلاَّ مَا فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ مَا أَعْلَمُهُ إِلاَّ فَهْمًا يُعْطِيهِ اللَّهُ رَجُلاً فِي الْقُرْآنِ وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قُلْتُ وَمَا فِي الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الأَسِيرِ، وَأَنْ لاَ يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ.[36]

Hadis ini terdapat dalam tujuh kitab hadis dengan enam belas jalur sanad. Masing-masing terdapat dalam Shahih al-Bukhari tiga jalur, Sunan Al-Turmuzi satu jalur, Sunan Nasa’I empat jalur, Sunan Abu Dawud empat jalur, Sunan Ibn Majah satu jalur, Musnad Ahmad dua jalur, dan dalam Sunan Ad-Darimi satu jalur sanad. Keenam belas jalur sanad tersebut semuanya mauquf. Sementara menurut Al-Ghazali hadis ini berkualitas sahih.
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini, diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolak karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Didalam sejarah disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukuman apapun atas pembunuhan itu. Berbeda dengan ahl al-zimmi( orang kafir yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin). Apabila seorang membunuhnya, maka ia dijatuhi hukuman qishash.
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria keshahihan hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan hadis. Dari segi sanad hadis diatas mauquf  tidak mencapai derajat marfu’, dan dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum Rasulullah.[37]

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Walaupun terdapat kesamaan antara model penelitian sejarah dan penelitian hadis, karena kesamaan sasaran, akan tetapi pendekatan ilmu sejarah tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam penelitian hadis, termasuk sanad hadis. Pertimbangannya, karena alat ukur yang dipakai kedua pendekatan tersebut terdapat perbedaan yang sangat prinsip.
2.      Model penelitian dalam buku ini tampak tidak jelas, walaupun dikatakan memakai pendekatan ilmu sejarah, namun belum terlihat terapan ilmu tersebut. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kajian dalam buku ini sebenamya memakai metode analogi perbandingan, karena faktanya adalah hanya membanding, baik antara beberapa pendapat ulama dalam kaitannya dengan penentuan kualitas sanad, ataupun antara metode yang dipakai ulama-ulama tersebut dengan metode ilmu sejarah.
3.      Tawaran metode yang terungkap, bertujuan memenuhi model studi yang komprehensif tentang hadis, sehingga diharapkan tidak terjadi perbedaan antara kualitas sanad dan matan, sebagaimana dikembangkan para ulama, bahwa sanad hadis yang shahih tidak dengan sendirinya matannya shahih.



[1] Sanad adalah rentetan periwayat yang memindahkan hadis satu dari yang lainnya sampai mereka menyampaikan hadis kepada orang yang mengatakannya.Kajian sanad itu merupakan pondasi yang fundamental dalam study ilmu hadis.Sebagaimana Sufyan at-Tsaury mengungkapkan bahwa sanad adalah senjata mu’min.tanpa senjata dengan apa cara berperang. Begitu pula hal senada diungkapkan oleh Abdullah bin al-Mubarak bahwa sanad bagiku merupakan agama, tanpa sanad seseorang bisa berkata dengan seenaknya. Lihat  Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadis, (Damasqus-Syiria, Dar al-Fikr, 1418 H-1997 M), vol. I, hal. 344.
[2]Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah,(Jakarta:Prenada Media,2003), hal.173.
[3]Adalah ar-Rawi bahwa sebagaimana diungkapkan oleh Abu Abdullah bin al-Hakim bahwa pokok kredibiltas muhaddis adalah muslim, tidak mengajak kepada bid’ah,  Lihat Yusuf bin Hasyim bin ‘Abid al-Lihyany, al-Khobar at-Tsabit, (t.t.: t.c., t.th), vol. I, hal. 17.
[4] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Fir daus, 2008), cet. V, hal. 111.
[5] Usaha ini secara resmi dan massal telah dilakukan berdasarkan instruksi dinas khalifah Umar Bin Abdul Azis, dilakukan sejak zaman sahabat, berupa catatancatatan pribadi seperti ali bin Abu thalib, amir Bin Ash dan lain-lain. Lihat Subhiy al-Shaleh, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, hal. 24-30, dan hal. 44-45, Muhammad Zahw, al-Hadis Wa al-Muhaddisun, (Dar Mathba’ah Mishr, Mesir, tt.) hal. 244-245.
[6] Al-Nu’man Abdul al-Muta’al, al-Hadis al-Syarif riwayat wa Dirayat, hal. 77-80.
[7] Ibnu al-Shalah, Ulum al-Hadis, hal. 10, dan al-Nawawi, al-Tagrib ii al-Nawawiy Fann Ushul al-Hadis, hal. 1
[8] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, 1989 cet.ke-2) hal.3-4.
[9] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah),.. hal.7.
[10] Muhammad Al-Ghazali,Dustur al-Wahdah al-Saqafiyahbayn al-Muslimin, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1996),hal.29.
[11] Bustamin, M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta Utara, PT.Raja Grafindo Persada: 2004), Hal. 71-72.
[12] Bustamin, M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis, … Hal. 72-75.
[13] Ahmad bin al-Husein bin Ali bin Musa bin Abu Bakr al-Baihaqy, as-Sunan as-Sughra li Ahmad al-Baihaqy, (t.t.,t.c.,t.th.), vol. I. hal. 86.  
[14] Salahuddin ibn Ahmad al-adabi, Metodologi kritik matan hadis, (Jakarta: Gaya media pratama), hal,254
[15] Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua yang telah mendahuluinya. (Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi, Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H). Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ at Tabi’in).
[16] Musthafa al-A’zami, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, (Riyadh:at-Thobaiyah al-Arobiyah,1982), hal. 93.
[17] Musthafa A’zomi, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu … hal. 93.
[18] Musthafa A’zomi, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu … hal. 93.

[19]Musthafa al-A’zami, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu … hal. 94.

[20] Musthafa al-A’zami, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu … hal. 94.

[21] Erfan Subahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah,…  hal.218
[22] Dalam uraian selanjutnya istilah di atas banyak disebut dengan keaslian sumber, sebagai istilah yang banyak digunakan di sekitar naskah yang autentik
[23] Dalam studi hadis, proses yang terakhir di atas dikenal dengan kritik dari segi ke-shahih-an hadis, meliputi kritik sanad dan matn hadis
[24] Dalam konteks ini terlihat, bahwa ilmu hadis dan ilmu sejarah mempunyai kesejalanan, terutama dari sudut aktifitas rekonstruksi bahan atau informasi atau peristiwanya; keduanya laksana dua sisi mata uang. Namun, ketika berdiri sebagai suatu konsep keilmuan, masing-masing telah mengembangkan kemampuan sesuai dengan medan operasinya. Karena itu, wajar bila pada saat demikian tiap-tiap ilmu dalam beberapa segi mempunyai keberbedaan konsep, tapi pada kesempatan yang sama memiliki banyak kesejalanan, termasuk dalam persoalan keaslian sumber atau teks atau naskah hadis.
[25] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, … 221
[26] Erfan Soebahar, Meggunakan Fakta Keabsahan Al-Sunnah, … Hal :220

[27] Penyebutan kata “terutama” di sini dalam kaitannya dengan periwayatan hadis, mengingat bahwa tidak semua sahabat yang hidup pada masa Nabi saw itu menjadi periwayat hadis. Yang melakukan periwayatan hadis dari generasi sahabat itu terbatas, yakni sejumlah orang-orang yang betul-betul pernah menjadi saksi sejarah berkenaan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. Sebagian dari sahabat itu yang telah ditelusuri persambungannya oleh al-A’zhami, memiliki periwayatan yang bersambung di dalam hadis, sehingga periwayatannya terkait secara jelas dengan generasi sesudahnya, baik Tabi’in maupun Tabi al- Tabi’in. karena itu, mayoritas mereka yang terlibat periwayatan dalam hadis adalah dikenal dengan predikat ‘adil yakni periwayatnya dapat diterima. Namun penyebutan ‘adil terhadap sahabat yang meriwayatkan hadis di sini baru salah satu dari syarat yang perlu dipenuhi bagi penerimaan hadis, sehingga hadis yang diterimanya harus bebas dari ujian dlabith untuk dapatnya menjadi hadis yang shahih, yakni asli diterimanya dari Nabi Muhammad saw
[28] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978), hal. 9-14
[29] Abu Lubabah Husayni, al-Jarh wa al-Ta’dil, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1399), hal. 21-22
[30] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), hal.425
[31] Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, … hal. 85
[32] Erfan Subahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, … hal, 234
[33]Erfan Soebahar, Meggunakan Fakta Keabsahan Al-Sunnah, … Hal, 242.
[34] Musthafa al-A’zami,Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa tarikhuhu … hal, 96.

[35] Musthafa A’zami, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Nasy’atuhu wa Tarikhuhu … hal. 96-102.

[36] Bukhari, al- Jami’ al- Shahih, (Kairo: Dar al- Sya’bi, 1987), Juz 4, hal. 84
[37] Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, …  hal. 86-87

Komentar

Postingan Populer